Berita / Pengumuman Terkini
Assalamu'alaikum Wr. Wb.    Selamat Datang di website resmi Pengadilan Negeri Calang     Dapatkan Semua Informasi Pengadilan Negeri Calang melalui website resmi          Silahkan hubungi Pengadilan Negeri Calang, kami melayani para pencari keadilan dengan sepenuh hati.          Assalamu'alaikum Wr. Wb.    Selamat Datang di website resmi Pengadilan Negeri Calang     Dapatkan Semua Informasi Pengadilan Negeri Calang melalui website resmi          Silahkan hubungi Pengadilan Negeri Calang, kami melayani para pencari keadilan dengan sepenuh hati.
Gambar Tombol

Berita / Pengumuman Terkini

i

Di halaman ini merupakan berita, pengumuman, relaas serta kegiatan terbaru seputar Pengadilan Negeri Calang

1.     Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia yang menyatakan :”Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu dan Pasal 5 yang menyatakan”Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi atau dihina.”

2.     Pasal 3 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sosial dan Politik ( International Convenenat on Civil and Political Rights/ ICCPR)  yang telah disahkan melalui UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik  yang menyatakan  “Setiap orang memiliki hak atas  hidup dan Pasal 7 menyatakan “ hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi”.

3.     Pasal 3 Komentar Umum Komite ICCPR pada 2000 tentang kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

4.     Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang sudah disahkan melalui UU No 7 Tahun 1984 tentang CEDAW. Dimana Pasal 1 melarang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Femisida merupakan pembunuhan berdasarkan jenis kelamin perempuan. Pasal 2 menyatakan negara pihak berkewajiban mengadopsi kebijakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan termasuk kekerasan terhadap perempuan.

 Kewajiban ini bersifat alamiah, tidak boleh ada pembenaran atas penundaan berdasarkan apapun termasuk alasan ekonomi, budaya atau agama. Kewajiban negara mencakup  tanggung jawab atas tindakan kekerasan terhadap perempuan atau pembiaran yang dilakukan aktor negara atau non state actor.

5.     Rekomendasi Umum No 19 CEDAW tentang Kekerasan terhadap Perempuan yang menetapkan diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 CEDAW mencakup kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang ditujukan terhadap perempuan karena dia adalah perempuan. Kekerasan berbasis gender merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mampu menikmati hak-hak dan kebebasan dasar secara setara dengan laki-laki.

Butir 7 Rekomendasi Umum No 19 CEDAW tentang kekerasan berbasis gender yang merusak, menghalangi atau meniadakan penikmatan oleh perempuan terhadap hak asasinya dan kebebasan fundamental beradasarkan hukum internasional atau berdasarkan konvensi HAM, adalah diskriminasi dalam pengertian Pasal 1 CEDAW.

Hak-hak dan kebebasan itu termasuk (a) hak untuk hidup; (b) hak untuk tidak mengalami penganiayaan, kekajaman, perbuatan atau hukuman yang menurunkan martabat dan tidak berprikemanusiaan; (c) hak untuk mendapatkan perlindungan yangs etara sesuai dengan norma humaniter dalam situasi konflik bersenjata internal atau internasional, (d) hak atas kebebasan dan keamanan seseorang, (e) hak untuk mendapatkan perlakuan yang setara di depan hukum, (f) hak untuk mendapatkan kesetaraan dalam keluarga, (g) hak untuk mendapatkan standar kesehatan tertinggi baik fisik maupun psikis, (h) hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang layak dan menguntungkan.

6.     Rekomendasi Umum No 33 CEDAW tentang Akses pada keadilan. Meski perempuan korban meninggal, namun negara wajib menegakkan keadilan dengan menginvestasi kasusnya, memberi ganti rugi  kepada kelauarganya dan pemulihan yang diperlukan serta menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya.

7.     Rekomendasi Umum No 35 yang merupakan perluasan dari Rekomendasi Umum No 19 tentang Penghapusan Kekearasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa kekerasan tersebut merupakan masalah sosial dan bukan individual sehingga membutuhkan respons yang komprehensif dari negara. Rekomendasi ini menjelaskan bahwa kekerasanberbasis gender terjadi  di semua tempat dan ruang interaksi  manusia, publik maupun pribadi, termasuk dalam pengaturan konteks keluarga, komunitas, ruang publik. Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dapat diakibatkan oleh perbuatan, pengabaian atau kelalaian aktor negara atau bukan negara,  yang bertindak secara territorial atau ekstrateritorial, termasuk tindakan militer ekstrateritorial negara, secara individu atau sebagai anggota organisasi atau koalisi internasional atau antar pemerintah, atau ekstraterritorial atau koalisi internasional atau antar pemerintah, atau ekstrateritorial operasi perusahaan swasta.

8.     Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah disahkan melalui UU No 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights People With Disabilities (CRPD)dan diturunkan dalam UU No 8 Tahun 2016 tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas memiliki kerentanan berlapis dibandingkan dengan perempuan non disabiliats. Pertama, karena gendernya. Kedua, kondisi disabilitas yang mengakibatkan mereka mengalami berbagai hambatan. Pasal 5 menyatakan hak perempuan penyandang untuk “bebas dari tindakan diskriminasi, pelantaran, penyiksaan dan eksploitasi. (Ayat iv).

9.     Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia kemudian mengimplimentasikan konvensi tersebut melalui Undang-Undang Perlindungan Anak tahun 2002 tentang   Perlindungan Anak No 23 yang direvisi dengan UU No 35 Tahun 2014 dan UU No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

10.                        Dokumen hasil Pertemuan Tinjauan Regional Beijing +25 yang diorganisir Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa pada Oktober 2019 menyatakan mendukung prakarsa Pemantau Femisida ( Femisida Watch). Rekomendasi No 31 menyerukan kepada semua negara agar membangun badan nasional multi disipliner seperti Pemantau Femisida yang bertujuan bekerja secara aktif untuk pencegahan femisida atau pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan.

11.                        Sekjen PBB pada pertemuan Tingkat Tinggi Konferensi Dunia IV tentang Perempuan pada 1 Oktober 2020 menyerukan tindakan afirmasi untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan termasuk femisida.

12.                        Pembangunan Berkelanjutan (SDGS) tujuaan 16.1 “Pengurangan secara signifikan jumlah segala bentuk kekerasan dan angka kematian perempuan di mana pun”.

        Femisida masih belum sepenuhnya mendapat tempat dalam kerangka hukum nasional.  Akibatnya, perkara-perkara pembunuhan yang seharusnya masuk ke ranah femisida, tumpang tindih  dengan kejahatan-kejahatan lainnya. Berdasarkan aturan-aturan tersebut dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan di Indonesia belum mendifinisikan fenomena penanganan kasus femisida yang telah disepakati secara global sebagaimana definisi menurut Deklarasi Wina, dimana  penanganan femisida masih bersifat umum, definisi femisida sebagai salah satu bentuk pembunuhan motifnya belum terlihat terkait gender korban. Misalnya Pembunuhan perempuan akibat kekerasan oleh pasangan intim/rumah tangga tidak secara spesifik mendefinsikan kasus sebagai bagian dari femisida. Sebagaimana UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga dan KUHP yang berlaku, kasus berikut lebih mengarah dan condong ke kasus pembunuhan umum yang melihat perempuan korban tindak KDRT yang menyebabkan hilangnya nyawa korban. Pasal 5 UU PKDRT melarang kekerasan rumah tangga dengan cara : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. KDRT yang menyebabkan kematian setara dengan tindak pidana pembunuhan ( Pasal 338 KUHP) atau penganiayaan berat dengan rencana ( Pasal 352 ayat 2). Penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan tidak   didefinisikan sebagai kasus femisida dan landasan hukum yang berlaku merujuk ke KUHP dan bila perlu UU Perlindungan Anak. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas nama kehormatan seseorang maupun kolektif tidak diatur dalam undang-undang yang berlaku. Aturan pasal yang memayungi kasus kasus spesifik atas nama kehormatan  lebih umum sehingga motif ini mengarah pada rujukan KUHP. Pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks konflik bersenjata belum memiliki aturan khusus dalam perundang-undangan di Indonesia, sepenuhnya merujuk ke KUHP. Pembunuhan perempuan terkait mahar belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, landasan hukum yang digunakan merujuk KUHP. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan karena orientasi seksual dan identitas gender mereka hingga saat ini belum memiliki hukum yang khusus mengatur hal tersebut. Dalam praktiknya motif pembunuhan terhadap perempuan dan anak ini berlaku ketentuan KUHP serta UU Perlindungan Anak.

Pembunuhan perempuan dan anak perempuan penduduk asli karena jenis kelamin hingga kini belum diatur dalam perundang-undangan khusus yang mengatur motif pembunuhan tersebut. Landasan hukum yang digunakan sebagai rujukan adalah KUHP dan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pasal 4 huruf B angka 4 menyatakan” Melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerosaan, perbuatan cabul,  pencurian dengan kekerasan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan , atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis’. Pembunuhan bayi perempuan dan pembunuhan janin berdasarkan jenis kelamin belum memiliki landasan hukum yang mengatur mengenai motif pembunuhan tersebut ataupun aborsi selektif atas dasar jenis kelamin. Perundang-undangan yang dijadikan rujukan adalah KUHP dan UU Perlindungan Anak. Kematian terkait P2GP belum diatur dalam peraturan khusus yang melarang praktik tersebut secara jelas. Pembunuhan perempuan karena tuduhan sihir tidak memilki hukum yang khusus mengatur hal tersebut.Pembunuhan berbasis gender lainnya yang brhubungan deng geng, kejahatan terorganisir, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan penyebaran senjata api belum diatur secara khusus. Motif pembunuhan tersebut merujuk pada KUHP dan UU Pemberantasn Tindak Pidana Perdagangan Orang.

 Berdasarkan uraian di atas jelaslah dalam perundang-undangan nasional, femisida ditempatkan sebagai kriminalitas umumnya dan bukan kejahatan berbasis gender.

         Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum terkait femisida di Indonesia adalah;

a.     Pembunuhan sebagaimana diatur dalam  Pasal 338 KUHP “ Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain. Diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun”.

Ada dua unsur essensial dalam pasal ini yaitu adanya  unsur subjektif  dengan sengaja dan unsur objektif  menghilangkan nyawa orang lain.

b.     Pembunuhan disertai atau didahului Tindak Pidana lain sebagaimana diatur dalam Pasal 339 KUHP. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempemudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.

c.      Pembunuhan Berencana  sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP

“Barangsiapa yang dengan sengaja  dan dengan rencana terlebih dahulu merampas jiwa orang lain, karena melakukan pembunuhan berencana, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun.”

d.     Tindak Pidana penganiayaan yang Menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam  Pasal 351 ayat 3 KUHP.

e.      Penganiayaan dengan rencaan terlebih dahulu jika mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 353 Ayat 3 KUHP;

f.       Penganiayaan berat jika mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 354 Ayat 2 KUHP;

g.     Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dan mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 355 Ayat 2 KHUP;

h.     Penelantaran yang Menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 Ayat 2 KUHP;

i.        Perbuatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 304 KUHP ( menempatkan atau membiarkan sesorang dalam keadaan sengsara) dan Pasal 305 KUHP ( menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak) yang mengakibatkan kematian.

j.       Pemerkosaan yang Menyebabkan Kematian sebagimna diatur dalam Pasal 291 Ayat 2 KUHP;

k.     Perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 285  KUHP ( pemerkosaan), Pasal 286 KUHP ( persetubuhan), Pasal 287 KUHP ( persetubuhan dengan anak), Pasal 289 KUHP (perbuatan cabul) dan Pasal 290 KUHP ( perbuatan cabul terhadap anak) yang  mengakibatkan kematian.

l.        Kekerasan terhadap Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76 CUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang_Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”

m.  Kekerasan seksual terhadap Anak yang menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 76 D UU Perlindungan Anak “Setiap orang  dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”

n.     Pembunuhan Anak (Perempuan) sebagaimana diatur dalam  Pasal 341 KUHP ‘Seorang ibu yang karena takut akan diketahui bahwa dia melahirkan anak dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

o.     Pembunuhan Anak (prempuan)  sebagaimana diatur dalam pasal 342 KUHP “ Seorang ibu yang untuk melaksanakan keputusan yang diambilnya karena takut akan diketahui bahwa dia akan melahirkan anak, menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan berencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”

p.     Pengguguran dan Pembunuhan terhadap Kandungan/Janin (Aborsi) sebagaimana diatur dalam Pasal 75   UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan “Perbuatan yang dilarang, kecuali terhadap indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan” ;

q.     UU perlindungan Anak Pasal 45 A menyatakan setiap orang melakukan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.

r.      Pasal 347 KUHP “ Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

s.      Pasal 347 KUHP

1.     Barang siapa dengans engaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuan wanita itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

2.     Jika perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, dia dinacam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun

t.         Pasal 348 KUHP

1. barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuan wanita lain, diancam dengan pidana penjara selama paling lama lima tahun enam bulan;

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, dia diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

         u.  Pasal 449 KUHP

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat emmbantu melakukan kejahatan tersebut dalam pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diteragkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal itu dapat ditambah  dengans epertiga dan dapat dicabut haknya untuk menjalankan pekerjaannya dalam mana kejahatan itu dilakukan.

v.     Pembunuhan Berhubungan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)  Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang(PTTPO) .         

KESIMPULAN

     Bentuk-bentuk dan difinisi definisi femisida  hampir tidak terdengar dan terintegrasi secara optimal sebab peraturan  perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan daerah di Indonesia  masih belum memberikan definisi jelas tentang kekerasan dan pembunuhan berbasis gender yaitu pembunuhan perempuan karena ia perempuan;

     Belum ada payung hukum yang membedakan antara kasus pembunuhan berbasis gender  yang korbannya perempuan dengan pembunuhan sebagai kriminalitas umum. Belum ada aturan tentang  tindak pidana penghilangan nyawa berbasis gender.

 

 

                                                                                          

JUDICAL WELLBEING POLICY MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MENTAL HAKIM UNTUK INDEPENDENSI PERADILAN

on Selasa, 29 Oktober 2024. Posted in Berita/Pengumuman Terkini

JUDICAL WELLBEING POLICY MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MENTAL HAKIM UNTUK INDEPENDENSI PERADILAN

 

JUDICIAL WELLBEING POLICY: MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MENTAL HAKIM UNTUK INDEPENDENSI PERADILAN

Muhammad Taufiq

Yudhistira Gilang Perdana

Hakim Pengadilan Negeri Sungai Penuh

Hakim Pengadilan Negeri Calang

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Abstrak

Hakim adalah manusia yang memiliki keterbatasan kemampuan dengan segala konsekuensi dan tanggung jawab, dalam menjalankan tugas yudisial hakim dituntut memberikan rasa keadilan, tekanan saat mengadili, pasca putusan, bahkan pasca sanksi, dapat menjadi pemicu masalah kesehatan mental, sejalan dengan itu remunerasi hakim wajib diperhatikan. Integritas Hakim adalah kunci untuk mewujudkan Independensi Peradilan, kebijakan yang berbasis pada kesejahteraan hakim harus digulirkan, Hakim umumnya menghadapi tekanan dari pekerjaan yang menuntut intelektual, beban kerja yang tinggi, dan pengawasan media serta masyarakat, Australia Wellbeing Survey of Australia’s Judiciary Reveals Risk of Distress and Burnout, Mei 2019 mengungkapkan bahwa Hakim berisiko mengalami kelelahan dan trauma, berdasarkan Judicial Wellbeing Survey 2021, report and action plan oleh Judiciary of England and Wales disebutkan salah satu tujuan inti strategi kesehatan dan kesejahteraan yudisial adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesejahteraan mental, selain itu faktor keuangan merupakan komponen penting dalam konsep Independensi peradilan.

Kata kunci: Kesejahteraan Mental Hakim, Remunerasi Hakim, Judicial Wellbeing, kesehatan mental hakim.

Pendahuluan

Secara kontekstual, independensi peradilan bisa diartikan segala faktor atau kondisi yang mendukung sikap batin hakim, yang bebas mengungkapkan nuraninya terhadap keadilan, salah satu faktor ada atau tidaknya independensi peradilan adalah Integritas Hakim, secara singkat Integritas dapat diartikan sebagai kapasitas mental dan fisik, yang menitikberatkan pada upaya peningkatan kesejahteraan,1 No Health Without Mental Health adalah pernyataan yang disampaikan Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus (Director General World Health Organization) dalam kata pengantarnya dalam world mental health report: transforming mental health for all, yang ditindaklanjuti oleh dengan ditetapkannya comprehensive mental health action plan 2013–2030.2 kesejahteraan dikaitkan juga dengan remunerasi, sehingga Hakim seharusnya tidak perlu lagi khawatir tentang kondisi keuangan baik sekarang maupun di hari tua.

Hakim dalam kedudukannya sebagai pejabat negara telah dinyatakan dalam konstitusi Indonesia Pasal 24 ayat (2). Bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh lembaga negara, namun sesungguhnya yang melakukan secara nyata adalah hakim dalam kedudukan sebagai pejabat negara. Hakim sebagai pejabat negara ditegaskan juga dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 58 huruf e Undang-Undang

1 Adinda Thalia Zahra , Aditia Sinaga , Muhammad Rafli Firdausi, “PROBLEMATIKA INDEPENDENSI HAKIM SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN”, Bureaucracy Journal: Indonesia,vol. 3 No. 2 (2023), hlm.2020

2World Health Organization, World mental health report: transforming mental health for all, (Geneva: World Health Organization; 2022),hlm.vi, https://www.who.int/teams/mental-health-and-substance-use/world-mental-health-report diakses pada 06 Maret 2024.

Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara. Hakim sebagai pejabat negara memiliki tugas utama mengadili perkara, Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Zaid Umar Bobsaid ketika menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar sebagai narasumber Focus Group Discusion yang dilakukan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI di Denpasar tanggal 24-28 Agustus 2020, memberikan pernyataan bahwa tugas Hakim tidak hanya dihadapkan dengan tanggung jawab untuk memutus perkara dengan benar dan adil yang dapat diterima oleh para pihak, hakim juga dihadapkan pada berbagai tekanan baik fisik maupun mental oleh para pihak yang berperkara dan pada beberapa kasus berat yang pernah ditangani, beliau mendapat intimidasi fisik yang mengancam keselamatan.3

Negara telah mengatur kesejahteraan hakim dalam bentuk Hak keuangan dan fasilitas sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 Tentang Hak Keuangan Dan Fasilitas Hakim, hingga sekarang pemenuhan hak keuangan dan fasilitas bagi hakim belum tuntas direalisasikan, berkembang isu kesejahteraan peradilan atau dikenal dengan istilah Judicial wellbeing, kesehatan mental menjadi salah satu tujuan inti strategi Judicial wellbeing, implementasi jaminan kesehatan hakim telah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung bersama Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia telah bersinergi dengan BPJS Kesehatan berdasarkan nota kesepahaman nomor:04/KMA/NK/XI/2022 dan nomor:35/MoU/1122 tanggal 8 November 2022.4 Setelah itu diterbitkannya Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 184/KMA/SK.KP5.2/IX/2023 Tentang Pedoman Pemberian Jaminan Kesehatan Bagi Hakim Pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung, kemudian ditetapkan PT Asuransi Jiwa Mandiri Inhealth Indonesia, sehingga pada tahun 2024 Hakim sudah mendapatkan asuransi, namun bagaimana dengan kesejahteraan mental dalam hal ini berkaitan dengan kesehatan mental hakim yang belum diakomodir oleh asuransi. Penelitian International Commission of Justice yang berjudul “Reviewing Measures to Prevent and Combat Judicial Corruption” pada tahun 2010, memberi konfirmasi bahwa salah satu penyebab korupsi peradilan adalah rendahnya remunerasi yang diterima hakim,5 lalu timbul pertanyaan apakah Hak Keuangan yang selama ini diterima hakim itu sudah cukup? maka dalam konteks ini penulis menjawab sudah cukup, namun apabila kita tarik ke pertanyaan filosofi apakah hak keuangan tersebut sudah memberikan rasa adil bagi hakim? jawabannya relatif tidak, karena di satu sisi hakim harus memberikan rasa adil bagi pencari keadilan sebagai tombak kekuasaan kehakiman dimana dalam menjalankan tugas yudisialnya harus bebas dari segala bentuk intervensi, maka menurut penulis harus dibuat suatu kebijakan yang komprehensif mengenai judicial wellbeing yang muaranya kepada Integritas berbentuk layanan kesehatan mental dan peningkatan remunerasi hakim. Penelitian ini dibuat untuk memberikan gambaran kepada policy maker agar membuat strategi judicial wellbeing yang tujuan intinya adalah meningkatkan kesejahteraan hakim baik kesejahteraan mental dan finansial, hal tersebut menjadi faktor penentu integritas hakim ketika menjalankan tugas yudisialnya secara independen, sebagaimana kode etik dan pedoman perilaku hakim. Berdasarkan metode dan analisis yang digunakan studi ini termasuk jenis doctrinal legal research yang diperoleh melalui studi literatur ditambah

3 Hendrik Khoirul Muhid, “Disebut Tak Setara dengan Tanggung Jawabnya, Berapa Gaji Hakim?”,tempo.co (22 Januari 2022), https://nasional.tempo.co/read/1552868/disebut-tak-setara-dengan-tanggung-jawabnya-berapa-gaji-hakim, diakses 07 Maret 2024.

4Admin IKAHI, “Pemenuhan Jaminan Kesehatan Bagi Hakim” ikahi.or.id (04 September 2023), https://www.ikahi.or.id/berita/pemenuhan-jaminan-kesehatan-bagi-hakim,diakses 07 Maret 2024.

5Oce Madril, “Nasib Kesejahteraan Hakim” pukatkorupsi.ugm.ac.id (2015), https://pukatkorupsi.ugm.ac.id/?p=3809,diakses 07 Maret 2024.

pengetahuan dan pengalaman penulis selama bertugas. Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif-eksplanatif yang bertujuan untuk menjelaskan judicial wellbeing dalam konteks kesejahteraan mental dikaitkan dengan independensi hakim, adapun rumusan masalah yang penulis angkat sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan Judicial wellbeing dengan Independensi Peradilan?

2. Bagaimana implementasi untuk mewujudkan kesejahteraan mental hakim dalam konsep judicial wellbeing?

Bahwa dengan adanya tulisan ini, penulis berupaya memberikan gambaran kepada pengambil kebijakan agar dapat merasakan apa yang dirasakan oleh hakim di daerah dengan segala tantangan dan hambatan, namun tetap melaksanakan tugas yudisial dengan penuh integritas sehingga kesejahteraan mental menjadi hal yang penting. Semoga bermanfaat dan dapat menjadi referensi bagi siapapun yang membaca serta melanjutkan penelitian mengenai judicial wellbeing, terkhusus kepada lembaga legislatif dan eksekutif untuk memberikan jaminan kesejahteraan pribadi dan profesional kepada hakim sebagai pelaksana fungsi peradilan yang independen.

Pembahasan

Kesejahteraan Mental Dalam Konsep Judicial Wellbeing

Judicial Wellbeing menurut Bagus Takwin (Dekan Fakultas Psikolog Universitas Indonesia) narasumber dalam seminar Judicial Wellbeing for Judiciary pada Selasa, 23 Agustus 2022 di Hotel Grand Mercure, Jakarta berpendapat bahwa Judicial Wellbeing adalah pengalaman kesehatan, kegembiraan, dan kemakmuran, termasuk memiliki kesahatan mental yang baik, kepuasan hidup yang tinggi, rasa bermakna atau memiliki tujuan, serta kemampuan mengelola stress para petugas peradilan.6 Kesejahteraan mental adalah kondisi yang sehat, bahagia, dan sejahtera, kesejahteraan mental yang baik dapat membantu seseorang menjalani hidup yang berkualitas, berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat.7

Dengan memiliki wellbeing, para hakim bisa menjaga kesehatan fisik dan mental secara bersamaan. Wellbeing juga bisa berdampak pada kinerja dan kualitas pengambilan keputusan yudisial. Sementara itu, Psikolog yang juga Koordinator Peminatan Psikologi Klinis Dewasa Dr. Yudiana Ratna Sari, M.Si., menyampaikan bahwa untuk memiliki wellbeing, seseorang harus menyenangi pekerjaannya, harus bisa memberi makna dalam setiap apapun yang dikerjakan. “Ketika kita bisa menyenangi dan memberi makna atas apapun yang kita lakukan, hambatan apapun, bahkan ketika sakit pun, semua akan menyenangkan,” katanya. Dengan menghayati dan memberi makna pada setiap pekerjaan, maka tubuh dan pikiran yang sehat bisa menghasilkan jiwa yang kuat, sehingga berimbas pada peradilan yang sehat dan bahagia.8

Bahwa pada tahun 2023 telah dilaksanakan survei kesejahteraan yudisial (Judicial Wellbeing) pada hakim di Indonesia oleh Mochamad Mirza S.Psi., bersama Dr. Endang Parahyanti. Berdasarkan disposisi PLH Ketua Mahkamah Agung RI kepada Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung RI Surat Nomor

6 Azizah, “IKAHI CABANG KHUSUS MAHKAMAH AGUNG GELAR SEMINAR TENTANG JUDICIAL WELLBEING”www.mahkamahagung.go.id (23 Agustus 2022), https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5365/ikahi-cabang-khusus-mahkamah-agung-gelar-seminar-tentang-judicial-wellbeing, diakses tanggal 07 Maret 2024

7 Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, “KEBIASAAN SEHARI-HARI YANG BISA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MENTAL”diskes.badungkab.go.id (29 Januari 2024), https://diskes.badungkab.go.id/artikel/54986-kebiasaan-sehari-hari-yang-bisa-meningkatkan-kesejahteraan-mental#:~:text=Kesejahteraan%20mental%20adalah%20kondisi%20yang,dan%20mengambil%20keputusan%20yang%20tepat, diakses tanggal 26 Maret 2024

8 Azizah, “IKAHI CABANG KHUSUS MAHKAMAH AGUNG GELAR SEMINAR TENTANG JUDICIAL WELLBEING”www.mahkamahagung.go.id (23 Agustus 2022), https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5365/ikahi-cabang-khusus-mahkamah-agung-gelar-seminar-tentang-judicial-wellbeing, diakses tanggal 07 Maret 2024

KESEJAHTERAAN MENTAL

KESEHATAN MENTAL

REMUNERASI

FINANSIAL

NON FINANSIAL

78/TuakaBin/VI/2023 tanggal 8 Juni 2023 dan surat PP IKAHI Nomor 090/PP.IKAHI/V/2023 tanggal 29 Mei 2023 tentang ijin dan dukungan pengambilan data penelitian "Kesejahteraan Yudisial (Judicial Wellbeing) pada Hakim di Indonesia". Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan gambaran judicial wellbeing Hakim di Indonesia, khususnya pada aspek psikologi. Penelitian tersebut akan digunakan sebagai data empiris untuk memberikan masukan kepada lembaga untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan yudisial hakim di Indonesia, dengan diadakannya survey kesejahteraan peradilan/judicial wellbeing kepada seluruh Hakim di Indonesia.

Ilustrasi 1. kerangka pemikiran penulis

Ilustrasi 2. kerangka pemikiran penulis

Pada Januari 2024, Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengumumkan telah menerbitkan surat edaran Nomor: SE-1/MBU/01/2024 tentang Employee Well-Being Policy (EWP) di Lingkungan BUMN yang ditetapkan tanggal 18 Januari 2024, latar belakang ditandatanganinya surat edaran tersebut adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara menyadari betapa sangat pentingnya masalah kesehatan mental. Namun, nyatanya hal itu justru kerap disepelekan dan masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat.9 Salah satu programnya adalah 1.000 manusia bercerita, program ini merupakan program Kementerian BUMN yang mengajak 1.000 pekerja BUMN di seluruh Indonesia untuk berdiskusi dan melakukan aktivitas untuk menjaga kesehatan mental, dan Pertamina sebagai BUMN juga memiliki wadah

9 Raden Jihad Akbar, Mohammad Yudha Prasetya, “Erick Thohir Jamin Kesehatan Mental Seluruh Pegawai BUMN, Begini Caranya” viva.co.id (19 Januari 2024), https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1679156-erick-thohir-jamin-kesehatan-mental-seluruh-pegawai-bumn-begini-caranya diakses pada tanggal 21 Maret 2024;

Laporan dan rencana aksi

Policy

Survey Judicial Wellbeing

afirmatif yang mendukung kesehatan mental seperti konsultasi dan pembinaan, komunitas olahraga dan komunitas seni.10

Merujuk pada kebijakan Kementerian BUMN mengenai Employee Well-Being Policy (EWP) secara konsep serupa dengan Judicial Wellbeing yang tidak terbatas pada kesehatan mental tetapi juga finansial hakim itu sendiri, maka dari itu perlu dibuat kebijakan mengenai Judicial wellbeing secara komperehensif untuk mendukung keseimbangan professional dan pribadi yang dapat membantu menciptakan lingkungan kerja positif bagi hakim sehingga dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim dapat bersikap independen.

Integritas faktor utama independensi hakim Integritas adalah konsisten berperilaku selaras dengan nilai, norma dan/atau etika organisasi, serta jujur dalam hubungan dengan manajemen, rekan kerja, bawahan langsung, dan pemangku kepentingan, menciptakan budaya etika tinggi, bertanggungjawab atas tindakan atau keputusan beserta risiko yang menyertainya,11 integritas adalah kualitas, sifat, atau keadaan yang menunjukkan suatu kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan untuk memancarkan wibawa dan kejujuran.12 Sedangkan menurut syamsir dan embi integritas adalah kecocokan antara hati, ucapan dan tindakan.13 Dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komis Yudisial RI Nomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KU/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim diimplementasikan dalam 10(sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut: (1).Berperilaku Adil, (2). Berperilaku Jujur, (3). Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4). Bersikap Mandiri, (5). Berintegritas Tinggi, (6).Bertanggung Jawab, (7). Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8). Berdisplin Tinggi, (9). Berperilaku Rendah Hati, (10). Bersikap Profesional, aturan perilaku kelima adalah berintegritas tinggi, integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.

Bahwa dari definisi-definisi yang penulis jabarkan diatas, Integritas melekat pada pribadi, ada di relung hati setiap manusia terkhusus hakim yang dalam menjalankan tugas yudisialnya selalu menggunakan hati nurani, namun tentu saja ada faktor yang mempengaruhi hati nurani manusia sebagaimana dalam QS. Al-An’am: 110 Allah SWT berfirman, “dan kami bolak-balikan hati mereka dan penglihatan mereka”, ayat tersebut mengandung makna bahwa hati nurani manusia itu mudah berubah, kadangkala di jalan yang benar dan adakalanya menjadi khilaf, sedangkan dalam perjanjian baru, hati nurani disebutkan suneidēsis, yang berarti kesadaran moral atau pengetahuan moral, hati nurani bereaksi saat tindakan, perbuatan dan perkataan seseorang sesuai,

10 Fahri, “Jaga Kesehatan Mental, Pertamina dan Kementerian BUMN Gelar Program 1.000 Manusia Bercerita” liputan6.com (28 Februari 2024), https://www.liputan6.com/news/read/5538129/jaga-kesehatan-mental-pertamina-dan-kementerian-bumn-gelar-program-1000-manusia-bercerita?page=2, diakses tanggal 24 Maret 2024

11PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARADANREFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KOMPETENSI JABATAN APARATUR SIPIL NEGARA

12Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, KBBI VI Daring “definisi integritas” kbbi.kemdikbud.go.id (2016), https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/integritas, diakses tanggal 27 Maret 2024

13Syamsir. S. and Muhamad Ali Embi, “Integrity Development Through PSM For Corruption Prevention Among Public Servant”, International Journal of Psychosocial Rehabilitation, Vol. 24, Issue 08, 2020, hlm. 1437-1448.

atau bertentangan dengan sebuah standar mengenai benar dan salah, maka dari itu sangat berkaitan dengan Independensi.

Independensi dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim terdapat pada penerapan perilaku hakim bersikap mandiri, dalam poin dua yang berbunyi hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian (independensi) hakim dan badan peradilan, adjektiva “independen dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan”, menurut Jimly Asshidiqie memiliki makna institusional dan fungsional.14 Hakim harus memiliki sifat yang independen, memiliki moralitas dan keadilan yang tinggi, jujur, dan memiliki pengetahuan yang luas di bidangnya, mereka harus mematuhi kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagai persyaratan untuk menjalankan tugasnya sebagai hakim independen yang mengutamakan supremasi hukum dan keadilan melalui sistem peradilan.15

Pada tahun 2016, UNODC (United Nations Office on Drugs Crime) membahas keterkaitan integritas peradilan dan pemberantasan korupsi kemudian meluncurkan program global untuk mempromosikan budaya taat hukum. Hal tersebut mencakup pembentukan jaringan integritas peradilan global untuk berbagi praktik terbaik dan pembelajaran mengenai tantangan mendasar dan pertanyaan baru terkait integritas peradilan dan pencegahan korupsi.16 Dengan demikian integritas merupakan faktor utama independensi hakim, namun faktanya ada hal yang mempengaruhi integritas hakim, salah satunya intervensi finansial yang secara langsung mempengaruhi mental hakim, maka hakim harus diberikan porsi kesejahterannya, karena dengan memberikan kesejahteraan mental yang erat hubungannya dengan finansial, hal itu akan membentuk karakter integritas dan budaya integritas yang mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.

Kesehatan Mental Di Zaman Modern Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit mental. Hal ini sesuai dengan tugas seorang konselor yang berusaha membantu seseorang mengenal kekuatan/potensi dirinya sendiri yang pada hakekatnya Allah SWT berikan, sehingga dapat tumbuh menjadi pribadi yang unggul. Dengan demikian sebenarnya orang yang sehat mental dapat dilihat dari kemampuan mencapai derajat hidup yang mulia dan bermanfaat bagi orang banyak.17 Prof. Dr. Zakiah Daradjat berkesimpulan bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit mental, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada semaksimal mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya keharmonisan jiwa dalam hidup. Pendapat tersebut menekankan bahwa kesehatan mental hakekatnya mengarah kepada pemikiran dan perilaku positif seseorang dalam menghadapi kondisi dirinya, orang lain dan masyarakat yang sedang dan akan bertumbuh agar selaras dengan keberadaan dirinya. mental health dalam perspektif WHO menjadi kebutuhan pokok umat manusia

14 Adinda Thalia Zahra, Aditia Sinaga, Muhammad Rafli Firdausi, “PROBLEMATIKA INDEPENDENSI HAKIM SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN” Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, Vol. 3 No. 2 Mei - Agustus 2023, hlm.2009-2025.

15 Adinda Thalia Zahra,dkk , “PROBLEMATIKA INDEPENDENSI HAKIM…., Vol. 3, hlm. 2016

16 Diego García-Sayán, “Corruption, Human Rights, and Judicial Independence” unodc.org (July 2017), https://www.unodc.org/dohadeclaration/en/news/2018/04/corruption--human-rights--and-judicial-independence.html, diakses tanggal 24 Maret 2024.

17 Restu Permadi, Fifiana Wisnaeni, “Tinjauan Hukum Kemandirian Dan Independensi Mahkamah Agung Didalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” Jurnal Pembangunan Hukum Volume 2, Nomor 3, Tahun 2020, hlm 399-415.

dalam konsep kesehatan mental. Mental yang sehat atau yang sering disebut mental health adalah apabila manusia dapat tumbuh dan berkembang dengan matang dalam hidupnya, menerima tanggung jawab dan melakukan penyesuaian serta berpartisipasi dalam memelihara aturan sosial dan budayanya demikian pendapat Frank, L.K.18

Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.19 Untuk mengetahui apakah seseorang sehat atau tidak sehat jiwanya dapat dilihat dari 4(empat) aspek yaitu:20 1. Perasaan. Ditinjau dari aspek perasaan, sehat atau tidak sehatnya jiwa seseorang dapat dilihat dari muncul atau tidaknya kondisi-kondisi gangguan perasaan seperti: rasa cemas (gelisah), iri hati, sedih, merasa rendah diri, pemarah serta ragu atau bimbang. 2. Pikiran atau Kecerdasan. Ditinjau dari aspek pikiran atau kecerdasan, sehat atau tidak sehatnya jiwa seseorang dapat dilihat dari muncul atau tidaknya kondisi-kondisi gangguan pikiran seperti: sering lupa, sulit berkonsentrasi dan kemampuan berfikir menurun. 3. Kelakuan. Ditinjau dari aspek kelakuan, sehat atau tidak sehatnya jiwa seseorang dapat dilihat dari muncul atau tidaknya kondisi-kondisi gangguan kelakuan seperti: mengganngu ketenangan dan hak orang lain, mencuri, menyakiti dan memfitnah. 4. Kesehatan badan. Ditinjau dari aspek kesehatan badan, sehat atau tidak sehatnya jiwa seseorang dapat dilihat dari muncul atau tidaknya penyakit Psychosomatic yang menyebabkan gangguan kesehatan badan seperti jantung berdebar, pusing, mual dan muntah. Bahwa faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang menurut darajat adalah sebagai berikut:21 1. Faktor Internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang seperti: kepribadian, kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, keberagamaan, sikap menghadapi problema hidup, kebermaknaan hidup, dan keseimbangan dalam berfikir; 2. Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri seseorang yang dapat mempengaruhi mental seseorang seperti: keadaan ekonomi, budaya, dan kondisi lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan. Apabila dua faktor tersebut diatas diimplementasikan kepada hakim, sebagaimana pengalaman dan pengetahuan penulis dikaitkan hasil survey Judicial Wellbeing Survey 2021 Report and Action Plan JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES , maka yang mempengaruhi kesehatan mental adalah sebagai berikut:

18 Ghazali Bahri, Kesehatan Mental I (Bandar Lampung: Harakindo, 2016) hlm.14

19 Pasal 1 angka 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA

20 Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982)

21 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: PT Gunung Agung, 2001),

Ilustrasi 3. kaitan judicial wellbeing dengan independensi oleh penulis

Kesehatan hakim sangat penting bagi pelaksanaan tugas yudisial, kebijakan kesehatan dan kesejahteraan harus dikembangkan dari waktu ke waktu untuk memastikan pemegang jabatan yudisial didukung untuk tetap sehat, apabila sakit harus dibuat langkah-langkah untuk mendukung agar dapat kembali bekerja, di Inggris dan Wales pada bulan Februari 2021, strategi kesehatan dan kesejahteraan yudisial yang pertama diluncurkan oleh Judiciary of England and Wales, yaitu sebuah rencana empat tahun yang terdiri dari enam tujuan inti sebagai berikut:22 1. promoting the judicial welfare offer; 2. centralising welfare information and having a visible and clear route for access to services; 3. raising awareness of the importance of mental wellbeing; 4. building an inclusive culture across the judiciary; 5. prevention: actions to support the judiciary to stay healthy and sitting; 6. intervention: actions to support judicial office holders during periods of sickness absence; Bahwa dalam survei yang dilaksanakan oleh Judiciary Of England and Wales yang bertajuk survei kesejahteraan peradilan 2021 (laporan dan rencana aksi), yang mana survei ini disebarkan kepada 21.713 pemegang jabatan

22 JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES, Judicial Wellbeing Survey 2021 – Report and Action Plan 2022

(JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES, Judicial Office, Royal Courts of Justice Strand London, 2022), hlm. 4,

https://www.judiciary.uk/wpcontent/uploads/2022/03/14.51_Judicial_Wellbeing_Survey_2021_Report_and_Action_Plan_FINAL2_WEB.pdf diakses tanggal 07 Maret 2024.

Faktor

Internal

Faktor

Eksternal

INTEGRITAS

INDEPENDENSI HAKIM

- Ketidak hati-hatian /ketidaktelitian

- Rasa aman & nyaman

- Merasa dihargai

- Emosi dan kebijaksanaan

- Moral dan spiritual

- Intervensi finansial, fisik &psikis

- Pasca sanksi

- Terlalu lama di satu tempat

- Jauh dari keluarga

- Beban kerja yang padat

Judicial Wellbeing Policy

yudisial (judicial office holders/JOH) di Inggris dan Wales, yang terdiri 13.177 hakim/magistrates, sebagaimana table dibawah ini.

Tabel 1. Stress and resilience

Current stress levels

51% of JOHs reported that they had experienced occasional manageable periods of stress. 23% were currently moderately stressed, 13% significantly stressed and 2% extremely stressed, while 11% were not stressed at all.

Symptoms of stress in the last 12 months

33% of JOHs reported no symptoms of stress, 27% reported physical symptoms of stress, 45% reported mental symptoms of stress and 48% reported behavioural symptoms of stress. JOHs were able to select all types of stress symptoms that applied so percentages will not sum to 100%.

Primary causes of stress in the last 12 months

Non work-related issues were reported by 41% of JOHs as a primary cause of stress, Covid-19 was reported by 34% of JOHs, judicial workload was reported by 24%, remote working was reported by 22% and screen time by 21%. JOHs were able to select up to three causes of stress therefore percentages will not sum to 100%.

Sickness absence and stress

94% of JOHs reported that they had not had any sickness absence due to stress, 4% said they had and 2% preferred not to say.

Current anxiety levels

24% of JOH were not anxious, 47% occasionally anxious, 19% moderately anxious, 8% significantly anxious and 2% extremely anxious. Significant levels of anxiety for all JOHs was five percentage points lower than significant levels of stress.

Sumber: Judicial Wellbeing Survey 2021 – Report and Action Plan JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES

Berdasarkan survey tersebut diatas yang dilakukan terhadap Judicial Office Holders (JOH) yang mana Hakim/magistrates menjadi objek survei, dapat ditarik kesimpulan bahwa 51% Judicial Office Holders (JOH) pernah mengalami periode stress dan hanya 11% yang tidak mengalami stres sama sekali, kemudian gejala stress yang paling tinggi persentasenya dalam dua belas bulan terakhir adalah gejala stres perilaku dan mental, dan yang paling mencengangkan bahwa persentase penyebab utama stres dalam dua belas bulan terakhir justru muncul dari masalah yang tidak terkait dengan pekerjaan sebanyak 41% sedangkan masalah yang tekait beban kerja yudisial hanya 24%, yang lebih mencengangkan lagi sebanyak 94% tetap masuk meskipun sakit karena stres, begitupun dengan tingkat kecemasan saat ini ada 47% yang mengatakan kadang-kadang cemas, meskipun survei tersebut dilakukan terhadap Judicial Office Holders (JOH) yang didalamnya termasuk Hakim di Inggris dan Wales, survei tersebut membuktikan bahwa hakim di negara maju seperti Inggris dan Wales faktanya mengalami kondisi stres.

Jaminan layanan kesehatan mental hakim Bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Judiciary of England and Wales tahun 2021 dalam survey, laporan, dan rencana aksi kesejahteraan peradilan dijelaskan saat ini terdapat berbagai dukungan yang tersedia untuk mendukung manajemen stres dan ketahanan dalam peradilan, termasuk pembelajaran online dan sesi tatap muka yang dikembangkan oleh Judicial

College. Selanjutnya dalam survey tersebut pemegang jabatan yudisial ditanya apakah dalam 12 bulan terakhir menggunakan salah satu dari dukungan berikut ini: - Saluran Bantuan Yudisial, - konseling khusus melalui Penyedia Bantuan Yudisial, - e-learning Mengelola Stres dan Membangun Ketangguhan, - e-learning Penilaian yang Bijaksana dan meditasi yang dipandu atau LawCare. Tabel 2. Use of the judicial mental wellbeing and stress support in the last 12 months Use of the judicial mental wellbeing and stress support in the last 12 months: 88% of JOHs said that they had not used any of the support listed, 12% had used one or more forms of support and 0.4% preferred not to say.

Sumber: Judicial Wellbeing Survey 2021 – Report and Action Plan JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES Berdasarkan survey tersebut diatas dari 12% yang menggunakan satu atau beberapa bentuk dukungan, diperoleh 3(tiga) bentuk dukungan teratas yang digunakan adalah: 1. berbicara dengan pemimpin peradilan; 2. Mengelola stres dan membangun ketahanan melalui e-learning 3. Penilaian dengan penuh kesadaran dan meditasi yang dipandu atau LawCare Bahwa Mahkamah Agung juga sudah mengakomodir, salah satunya mengadakan Pelatihan Kebahagiaan Kerja di Pengadilan Happines at work pada Tahun 2020 yang telah dilaksanakan dalam beberapa gelombang, oleh Pusdiklat Manajemen dan Kepemimpinan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Executive Learning Institute Prasetiya Mulya, hal tersebut menjadi salah satu langkah nyata untuk memberikan kesejahteraan mental kepada Aparatur Peradilan terkhusus Hakim, namun harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan bervariasi.

Program kesejahteraan peradilan di Inggris, Wales, dan Kanada Berdasarkan penelitian survei kesejahteraan peradilan/Judicial Wellbeing yang dilakukan oleh Judiciary of England and Wales pada tahun 2021, program yang pertama yang telah ada di Inggris dan Wales adalah saluran bantuan yudisial yang merupakan saluran telepon rahasia untuk lembaga peradilan dan keluarga dekat (pasangan dan anak-anak). Layanan ini memberikan akses langsung terhadap dukungan praktis dan emosional dari personel terlatih 24 jam sehari, setiap hari sepanjang tahun, tanpa dipungut biaya. awalnya dukungan dan konseling ini diberikan melalui telepon, namun konseling tatap muka juga diberikan kepada hakim bila diperlukan; Kedua, Perawatan Hukum/LawCare, merupakan badan amal yang memberikan dukungan kesehatan dan nasihat gratis, untuk peradilan dan anggota profesi hukum, sepanjang tahun, bahwa Hakim dapat mengakses situs web yang penuh dengan panduan bermanfaat, terdapat juga paket informasi yang bias diunduh dari situs web dan artikel yang menarik, lembaga ini memberikan kursus pelatihan tentang stres dan trauma, LawCare juga menyediakan portal kesejahteraan untuk membantu pengguna mengenali dan mengelola stres dalam hidup, dan hal tersebut ditanggapi positif oleh penggunanya. Ketiga, Judicial College, kalau di Indonesia serupa dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan yang bertanggung jawab untuk melatih para pemegang jabatan peradilan termasuk Hakim, dengan mengadakan pelatihan kepemimpinan untuk membantu para hakim mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab yang diberikan kepada Hakim. Judicial College menawarkan modul tentang mengelola stres, topiknya

mencakup pengenalan tentang stres dan bagaimana stres berkembang, potensi tekanan di lingkungan peradilan, bagaimana pemimpin lembaga peradilan dapat mengidentifikasi dan merespon tekanan yang dialami pihak lain, dan strategi mengenai bagaimana pemimpin lembaga peradilan dapat mengelola tekanan dari peran mereka sendiri. Keempat, diperkenalkannya Penasihat Regional Sumber Daya Manusia Yudisial yang merupakan bagian dari Kantor Yudisial, namun mereka bekerja dalam wilayah terdapat satu untuk setiap wilayah. Perannya adalah memberikan nasihat dan dukungan bagi para hakim dalam segala hal yang berkaitan dengan kesejahteraan peradilan. Bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk menjaga kesehatan mental Hakim, dengan mencegah stres dan kesehatan yang buruk sedini mungkin. Selain di Inggris dan Wales, di negara Kanada juga memiliki program terbaru yang dijalankan oleh peradilan Kanada tentang kesehatan peradilan, Peradilan Kanada memiliki akses terhadap layanan konseling rahasia yang gratis, lembaga ini juga menyediakan layanan konseling khusus bagi para hakim yang pernah menjalani persidangan yang menegangkan karena berurusan dengan perkara-perkara yang menarik perhatian publik. Lembaga ini menjalankan kursus yang disebut bertahan dan berkembang, mengoptimalkan produktivitas dan kesejahteraan peradilan. Topik yang dibahas meliputi trauma dan penanganan kasus-kasus penting, ada sesi mengenai kesejahteraan fisik dan psikologis para hakim, stres dan penuaan otak, menilai humor, manfaat tertawa ringan serta meditasi.23

Maka dengan demikian perlu dibuat upaya preventif yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, Mahkamah Agung dapat menyediakan dukungan psikososial dan kesehatan mental di lingkungan lembaga, sebagaimana di Pengadilan Inggris dan Wales seperti saluran bantuan yudisial, LawCare yang menyediakan portal kesejahteraan untuk membantu Hakim mengenali dan mengelola stres, pelatihan oleh Judicial College dengan membuat modul mengelola stres, membentuk Penasihat Regional SDM Yudisial yang merupakan bagian dari Kantor Yudisial atau Badan Pengawasan, serta contoh di Pengadilan Kanada yang membuat layanan konseling rahasia yang gratis terkhusus bagi hakim yang menderita trauma dan yang menangani kasus-kasus yang menarik perhatian publik;

Peningkatan Remunerasi Hakim Remunerasi pegawai merupakan usulan klasik yang tak lekang oleh waktu, remunerasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, remunerate menurut Oxford American Dictionaries berarti pay (someone) for services rendered or work done. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia kata remunerasi diartikan sebagai pemberian hadiah (penghargaan atas jasa dan imbalan), Remunerasi Menurut Mochamad Surya merupakan sesuatu yang diterima oleh pegawai dalam bentuk imbalan, yang mana pegawai telah berkontribusi terhadap perusahaan ataupun tempat mereka bekerja.24 Remunerasi sejalan dengan salah satu bentuk teori motivasi yaitu Goal-Setting Theory sebagaimana dikemukakan oleh Locke, Goal-Setting Theory menekankan pada pentingnya hubungan antara tujuan yang ditetapkan dan kinerja yang dihasilkan.25 Konsep dasarnya yaitu seseorang yang mampu memahami tujuan yang diharapkan oleh organisasi, maka pemahaman tersebut

23 Victoria Sharp, The Rt Hon. Lady Justice Sharp Dbe Vice President Of The Queen’s Bench Division, In Sickness And In Health Judicial Welfare in England and Wales (Committee for Judicial Studies National Conference 2016),hlm.9,https://www.judiciary.uk/wp-content/uploads/2017/04/lj-sharp-judicial-welfare-speech-20161118.pdf diakses tanggal 20 Maret 2024.

24 Mochammad Surya, Teori Remunerasi (Jakarta: Balai Pustaka,2004)

25 Locke, E. A., Toward a Theory of Task Motivation and Incentives. Organizational Behavior and Human Performance,1968, 3, 57-189

akan mempengaruhi prilaku kerja. Goal-Setting Theory mengisyaratkan bahwa seorang individu berkomitmen pada tujuan. Untuk mendorong semangat kerja Hakim, maka remunerasi finansial dan/atau non finansial adalah salah satu cara meningkatkan kesejahteraan mental hakim, sepatutnya setiap perbuatan, usaha, dan prestasi itu berbanding sejajar dengan imbalan, pahala, dan penghargaan, yang akan diberikan. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah: 105, “dan katakanlah, bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kinerja dan juga loyalitas Hakim, adalah dengan memberikan remunerasi finansial maupun non finansial sebagaimana pada gambar dibawah ini.26

Sumber: Skripsi Natasha Lutfi Aisyah Gambar.1 Komponen Remunerasi Bahwa remunerasi non finansial terdiri dari kepuasan yang diperoleh pegawai dari pekerjaan itu sendiri dan dari lingkungan pekerjaan, salah satunya kepuasan yang diperoleh pegawai dari pekerjaan yang dapat diciptakan oleh perusahaan/instansi dan pegawai yaitu efek psikologis dan fisik dimana orang tersebut bekerja, termasuk di dalamnya antara lain berupa kebijakan yang sehat dan wajar, supervisi dilakukan oleh pegawai yang kompeten, adanya rekan kerja yang menyenangkan, pemberian simbol status, terciptanya lingkungan kerja yang nyaman, adanya pembagian pekerjaan adil, waktu kerja yang fleksibel, dan lain-lain.27 Benefit remunerasi finansial menjadi hal utama, namun remunerasi non finansial dapat diterapkan sejalan, sebagai contoh penempatan yang dekat dengan keluarga, ada aparatur peradilan yang penempatan tugasnya di Aceh, sedangkan istri dan anaknya di Lampung, saat ini anaknya menderita sakit dan

26 Natasha Lutfi Aisyah, “Pengaruh Kebijakan Remunerasi Terhadap Kinerja Pegawai Di Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Uin Raden Intan Lampung”, Skripsi, Indonesia: Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung,2021, hlm.xxiv, http://repository.radenintan.ac.id/14191/1/skripsi%201-2.pdf diakses 26 Maret 2024.

27 Natasha Lutfi Aisyah, “Pengaruh Kebijakan Remunerasi...., hlm. xxiii

sudah meninggal dunia, sehingga dapat mengakibatkan aparatur peradilan tidak fokus melaksanakan tugas yudisialnya, atau seorang aparatur peradilan yang dikenakan sanksi karena kehilangan berkas di meja kerjanya, dan mungkin masih banyak contoh lain yang luput dari pemberitaan dan publikasi, maka remunerasi non finansial menjadi hal yang penting karena memiliki value lebih untuk pegawai. Bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya dituntut menjadi penulis yang baik karena putusan dan penetapan adalah produknya, maka dapat diberikan dukungan motivasi berupa remunerasi non finansial berupa sarana agar hakim dapat menuangkan ide atau gagasannya dalam bentuk karya tulis, ini dapat menjadi salah satu remunerasi non finansial, di satu sisi juga sebagai sarana pembinaan dan pelatihan kepada hakim. penulis sangat berterima kasih kepada Mahkamah Agung dan Pengurus Pusat IKAHI yang saat ini mempunyai wadah jurnal ilmiah JUDEX LAGUENS yang salah satunya digunakan untuk mengembangkan pikiran, ide, dan gagasan para hakim dan warga peradilan. Dengan demikian peningkatan remunerasi finansial menjadi hal utama dan remunerasi non finansial dapat menjadi alternatif sebagai implementasi kesejahteraan mental Hakim.

Kesimpulan Kesejahteraan mental adalah kondisi yang sehat, bahagia dan sejahtera, membantu hakim menjalani hidup yang berkualitas dan mengambil keputusan yang tepat. Mewujudkan kesejahteraan mental hakim merupakan bagian dari Independensi peradilan. Rencana aksi yang paling nyata saat ini adalah mengadakan layanan kesehatan mental khusus Hakim dan peningkatan remunerasi hakim dalam bentuk finansial dan/atau non finansial, sehingga kesejahteraan peradilan harus segera dibuat menjadi kebijakan, yang akan berpengaruh kepada budaya dan karakter hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya. Diharapkan Judicial Wellbeing Policy akan menjadi aksi yang memiliki value untuk mewujudkan hakim berintegritas dalam konsep independensi peradilan.

Pernyataan Bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya sendiri yang dalam penulisannya tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah, etika dan norma penulisan sebuah karya tulis ilmiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkhusus ketentuan lomba karya tulis ilmiah HUT IKAHI ke-71 tahun 2024.

Daftar Pustaka

Adinda Thalia Zahra, Aditia Sinaga, Muhammad Rafli Firdausi, “PROBLEMATIKA INDEPENDENSI HAKIM SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN”, Bureaucracy Journal: Indonesia,vol. 3 No. 2 (2023), hlm.2020

Admin IKAHI, “Pemenuhan Jaminan Kesehatan Bagi Hakim” ikahi.or.id (04 September 2023),https://www.ikahi.or.id/berita/pemenuhan-jaminan-kesehatan-bagi-hakim, diakses 07 Maret 2024.

Azizah, “IKAHI CABANG KHUSUS MAHKAMAH AGUNG GELAR SEMINAR TENTANG JUDICIAL WELLBEING”www.mahkamahagung.go.id (23 Agustus 2022), https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5365/ikahi-cabang-khusus mahkamah-agung-gelar-seminar-tentang-judicial-wellbeing,diakses tanggal 07 Maret 2024.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, KBBI VI Daring “definisi integritas” kbbi.kemdikbud.go.id(2016), https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/integritas, diakses tanggal 27 Maret 2024.

Diego García-Sayán, “Corruption, Human Rights, and Judicial Independence” unodc.org (July 2017), https://www.unodc.org/dohadeclaration/en/news/2018/04/corruption--human-rights--and-judicial-independence.html, diakses tanggal 24 Maret 2024.

Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, “KEBIASAAN SEHARI-HARI YANG BISA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MENTAL”diskes.badungkab.go.id (29 Januari 2024),https://diskes.badungkab.go.id/artikel/54986-kebiasaan-sehari-hari-yang-bisa-meningkatkan-kesejahteraan mental#:~:text=Kesejahteraan%20mental%20adalah%20kondisi%20yang,dan%20mengambil%20keputusan%20yang%20tepat, diakses tanggal 26 Maret 2024

Fahri, “Jaga Kesehatan Mental, Pertamina dan Kementerian BUMN Gelar Program 1.000 Manusia Bercerita” liputan6.com (28 Februari 2024), https://www.liputan6.com/news/read/5538129/jaga-kesehatan-mental-pertamina-dan-kementerian-bumn-gelar-program-1000-manusia-bercerita?page=2,diakses tanggal 24 Maret 2024.

Ghazali Bahri, Kesehatan Mental I (Bandar Lampung: Harakindo, 2016)

Hendrik Khoirul Muhid, “Disebut Tak Setara dengan Tanggung Jawabnya, Berapa Gaji Hakim?”,tempo.co(22Januari2022),https://nasional.tempo.co/read/1552868/disebut-tak-setara-dengan-tanggung-jawabnya-berapa-gaji-hakim, diakses 07 Maret 2024.

JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES, Judicial Wellbeing Survey 2021 – Report and Action Plan 2022 (JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES, Judicial Office, RoyalCourtsofJusticeStrandLondon,(2022),hlm.4,https://www.judiciary.uk/wpcontent/uploads/2022/03/14.51_Judicial_Wellbeing_Survey_2021_Report_and_Action_Plan_FINAL2_WEB.pdf diakses tanggal 07 Maret 2024.

Locke, E. A., Toward a Theory of Task Motivation and Incentives. Organizational Behavior and Human Performance,1968, 3, 57-189.

Mochammad Surya, Teori Remunerasi (Jakarta: Balai Pustaka,2004)

Natasha Lutfi Aisyah, “Pengaruh Kebijakan Remunerasi Terhadap Kinerja Pegawai Di Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Uin Raden Intan Lampung”, Skripsi, Indonesia: Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Universitas Islam Negeri RadenIntanLampung,2021,hlm.xxiv,http://repository.radenintan.ac.id/14191/1/skripsi%201-2.pdf

Oce Madril, “Nasib Kesejahteraan Hakim” pukatkorupsi.ugm.ac.id (2015), https://pukatkorupsi.ugm.ac.id/?p=3809,diakses 07 Maret 2024.

PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARADANREFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KOMPETENSI JABATAN APARATUR SIPIL NEGARA

Raden Jihad Akbar, Mohammad Yudha Prasetya, “Erick Thohir Jamin Kesehatan Mental Seluruh Pegawai BUMN, Begini Caranya” viva.co.id (19 Januari 2024), https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1679156-erick-thohir-jamin-kesehatan-mental-seluruh-pegawai-bumn-begini-caranya diakses pada tanggal 21 Maret 2024;

Restu Permadi, Fifiana Wisnaeni, “Tinjauan Hukum Kemandirian Dan Independensi Mahkamah Agung Didalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” Jurnal Pembangunan Hukum Volume 2, Nomor 3, Tahun 2020, hlm 399-415.

Syamsir. S. and Muhamad Ali Embi, “Integrity Development Through PSM For Corruption Prevention Among Public Servant”, International Journal of Psychosocial Rehabilitation, Vol. 24, Issue 08, 2020, hlm. 1437-1448.

Victoria Sharp, The Rt Hon. Lady Justice Sharp Dbe Vice President Of The Queen’s Bench Division, In Sickness And In Health Judicial Welfare in England and Wales (Committee for Judicial Studies National Conference 2016),hlm.9,https://www.judiciary.uk/wp-content/uploads/2017/04/lj-sharp-judicial-welfare-speech-20161118.pdf diakses tanggal 20 Maret 2024.

World Health Organization, World mental health report: transforming mental health for all, (Geneva: World Health Organization; 2022),hlm.vi, https://www.who.int/teams/mental-health-and-substance-use/world-mental-health-report diakses pada 06 Maret 2024.

Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982)

Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: PT Gunung Agung, 2001)

-->

Articles in Category: Berita/Pengumuman Terkini

Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia Oleh : Ainal Mardhiah SH MH (Mantan Hakim Pengawas Daerah PN Calang)

on Kamis, 02 Januari 2025. Posted in Berita/Pengumuman Terkini

                                  Femisida Dalam Kerangka  Hukum Indonesia

                            Oleh : Ainal Mardhiah SH MH (Mantan Hakim Pengawas Daerah PN Calang)

                                                            

                                                             PENDAHULUAN

      Femisida terbentuk  dari kata Femi yang berasal dari  katanya female yang berarti perempuan, sedangkan sida berasal dari bahasa latin caedera yang berarti pembunuhan. Sehingga Femisida berarti penghilangan nyawa perempuan atau anak perempuan karena dia perempuan atau karena kekerasan berbasis gender. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah femisida artinya pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan. Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

      Istilah “ femisida” pertama kali  digunakan oleh John Corry, Sejarawan Inggris  Tahun 1801  dalam bukunya “A Satrical View of London at the Commencement of the nineteenth Century  untuk merujuk pada  pembunuhan terhadap perempuan. Kemudian di  tahun 1976 Profesor Diana EH Russell  bersama Nicole van Den Hen , tokoh pelopor, pakar, aktivis feminis  kekerasan laki-laki terhadap perempuan, di Pengadilan Imternasional Kejahatan terhadap Perempuan International Tribunal on Crimes  Against women di Brussels, Belgia menggunakan istilah tersebut untuk menarik perhatian publik pada kekerasan dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan.

     Pada awalnya, femisida didefinisikan sebagai “pembunuhan perempuan oleh laki-laki yang dimotivasi oleh kebencian, penghinaan, kesenangan, atau rasa memiliki terhadap “perempuan” dan pembunuhan misogiis terhadap perempuan oleh laki-laki.”  Kemudian Prof Russel menyederhanakan difinisi femisida menjadi ”pembunuhan satu atau  lebih perempuan oleh satu atau lebih laki-laki karena mereka perempuan” dalam pidtao pengantarnya pada Simposium PBB tentang Femisida pada tanggal 26 November 2012.

     Komnas Perempuan  baru merumuskan istilah femisida tersebut 9 tahun setelah Simposium PBB tersebut dengan  merujuk pada situasi di Indonesia. Karena , istilah femisida  maknanya yang diterima sering kali bervariasi, tergantung pada perspektif siapa yang sedang diperiksa atau dari negara atau kawasan dunia mana. Fenomena femisida, termasuk konseptualisasi dan pengukurannya, terus menjadi subjek diskusi internasional di arena akademis, kebijakan, dan aktivis akar rumput serta dalam lembaga legislatif dan kebijakan regional, nasional, dan lainnya. Oleh karena itu Komnas perempuan mendifinisikan femisida  dengan merangkumkan definisi yang telah disusun oleh Pelopor Khusus Anti Kekerasan terhadap Perempuan PBB, OHCHR dan UN Women dan WHO sebagai  pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya. Femisida juga didorong oleh superioritas, dominasi, hegomoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan, juga berhuubngan dengan ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik.

         Berdasarkan data Komnas Perempuan, di Indonesia sepanjang Tahun 2020 hingga 2023 , terjadi total 798 kasus femisida di Indonesia.  Berdasarkan laporan Komnas Perempuan tentang Pemantauan Femisida 2024 melalui pemberitaan media online untuk periode1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024 dari 33.225 berita ditemukan 290 kasus dengan indikasi femisida. Tahun 2023 diketahui terdapat femidia intim yang dilakukan suami sebanyak 71 kasus, dilakukan pacar 47 kasus, dilakukan anggota keluarga 29 kasus dan dilakukan pengguna layanan seksual 16 kasus. Alasan tertinggi yang terungkap adalah cemburu atau sakit hati, penolakan hubungan seksual, masalah finansial dan kekerasan seksual.

 Aparat penegak hukum  belum memiliki keberpihakan yang terlalu baik. Padahal Femisida adalah puncak dari kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut disebabkan Indonesia belum mengatur tentang femisida secara khusus. Meskipun Indonesia memiliki beberapa aturan tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan  yang tersebar antara lain UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT dan UU TPKS yang secara eksplisit belum mengatur tentang femisida

            Negara-negara yang telah mengintegrasikan femisida dalam perundang-undangan tindak pidana, antara lain Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Kolombia, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, El Savador, Guatemala, Honduras, eksiko, Nikaragua, Panama. Peru, Paraguay, Uruguay dan Venezuela.

           Untuk menjelaskan apa itu femisida WHO, Pelopor Khusus Kekerasan terhadap Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan, Deklarasi Wina, dan UN Women and UNODC , inter-agency working document ( cvictim dissaggregations telah  menetapka 9 perbuatan yang tergolong  katagori femisida tersebut sebagai berikut:

1. Femisida Intim merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh suami/ mantan suami atau pacar/mantan pacar atau pihak lainnya.

2. Femisida Budaya, merupakan serangkaian bentuk femisida yang terdiri dari beberapa sub bagian terkait sebagai berikut:

a.  Femisida atas nama kehormatan, yaitu pembunuhan perempuan demi menjaga kehormatan keluarga atau komunitas. Pembunuhan dilakukan karena perempuan dianggap melakukan pelanggaran, perzinahan, diperkosa atau hamil diluar nikah;

b. Femisida terkait mahar: yaitu pembunuhan perempuan karena konflik mas kawain, misalnya karena dianggap tidak sesuai dengan keluarga calon suami;

c. Femisida Terakit Ras, Suku dan Etnis yaitu pembunuhan perempuan adat etnis tertentu, kecendrungan pada ras, suku dan etnis minoritas;

d.Femisida  Terkait tuduhan sihir, yaitu pembunuhan berdasarkan tuduhan terkait sihir atau santet;

 e. Femisida terhadap pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan ( female genital mutilation/circumcision (FGM/C) atau dikenal pemotongan/ pelukaan genitalia perempuan (P2GP) merupakan bagian dari kontrol terhadap seksualitas atau organ reproduksi perempuan yang dapat berdampak kematian anak perempuan dan perempuan dewasa;

f. femisida bayi ( aborsi, balita dan batita) yaitu pembunuhan terhadap bayi perempuan karena dianggap tidak berharga dibandigkan bayi laki-laki, termasuk aborsi selektif terhadap janin jenis kelamin perempuan dan anak penyandang disabilitas. Dalam budaya patrilineal, bayi perempuan dianggap bukan penerus kekerabatan dan garis keturunan keluarga luas dalam komunitas.

3. Femisida Konteks Konflik Bersenjata, merupakan pembunuhan dalam konteks konflik bersenjata, biasanya didahului kekerasa fsisk yang dilakukan aktor negara maupun non negara, UNODC menyatakan penargetan perempuan dalam konflik bersenjatadan penggunaan kekerasan seksual sebagai senjata perang ( weapon of war) digunakan untuk menghancurkan tatanan masyarakat, seperti perempuan yang menggalami pemerkosaan dalam konflik sering dijauhi dan dikucilkan oleh komunitas mereka.

4. Femisida Konteks Industri Seks Komersial merupakan pembunuhan perempuan pekerja seks oleh klien atau kelompok lain karena perselisihan biaya atau kebencian terhadap kelompok pekerja seks komersial

5. Femisida perempuan dengan Disabilitas, merupakan pembunuhan terhadap perempuan penyandang disabilitas karena kondisinya ataupun efek domio karena telah terjadi kekerasan seksual hingga kehamilan;

6. Femisida Orientasi Seksual dan  Identitas Gender merupakan pembunuhan yang didasarkankebencian dan prasangka terhadap minoritas seksual;

 7. Femisida Di Penjara, merupakan pembunuhan yang terjadi pada tahanan perempuan dalam konteks sistem penjara;

8. Femisida Non Intim ( PembunuhanSistematis) merupakan pembunuhan oleh seseorang yang tidak memiliki hubungan intim dengan korban, bisa terjadi secara acak terhadap korban tidak dikenal atau pembunuhan sistematis oleh aktor negara ataupun non negara;

9. Femisida Pegiat HAM/Pegiat Kemanusiaan. Merpakan pembunuhan dilakukan aktor negara atau non negara terhadap perempaun yang berjuang bagi pemenuhan HAM di komunitasnya atau masyarakat luas. Perjuangan ini dianggap mengancam atau merugikan kepentingan ekonomi kelompok terntentu.

Instrumen Internasional yang berkenaan dengan perlindungan  femisida yaitu:

1.     Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia yang menyatakan :”Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu dan Pasal 5 yang menyatakan”Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi atau dihina.”

2.     Pasal 3 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sosial dan Politik ( International Convenenat on Civil and Political Rights/ ICCPR)  yang telah disahkan melalui UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik  yang menyatakan  “Setiap orang memiliki hak atas  hidup dan Pasal 7 menyatakan “ hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi”.

3.     Pasal 3 Komentar Umum Komite ICCPR pada 2000 tentang kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

4.     Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang sudah disahkan melalui UU No 7 Tahun 1984 tentang CEDAW. Dimana Pasal 1 melarang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Femisida merupakan pembunuhan berdasarkan jenis kelamin perempuan. Pasal 2 menyatakan negara pihak berkewajiban mengadopsi kebijakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan termasuk kekerasan terhadap perempuan.

 Kewajiban ini bersifat alamiah, tidak boleh ada pembenaran atas penundaan berdasarkan apapun termasuk alasan ekonomi, budaya atau agama. Kewajiban negara mencakup  tanggung jawab atas tindakan kekerasan terhadap perempuan atau pembiaran yang dilakukan aktor negara atau non state actor.

5.     Rekomendasi Umum No 19 CEDAW tentang Kekerasan terhadap Perempuan yang menetapkan diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 CEDAW mencakup kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang ditujukan terhadap perempuan karena dia adalah perempuan. Kekerasan berbasis gender merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mampu menikmati hak-hak dan kebebasan dasar secara setara dengan laki-laki.

Butir 7 Rekomendasi Umum No 19 CEDAW tentang kekerasan berbasis gender yang merusak, menghalangi atau meniadakan penikmatan oleh perempuan terhadap hak asasinya dan kebebasan fundamental beradasarkan hukum internasional atau berdasarkan konvensi HAM, adalah diskriminasi dalam pengertian Pasal 1 CEDAW.

Hak-hak dan kebebasan itu termasuk (a) hak untuk hidup; (b) hak untuk tidak mengalami penganiayaan, kekajaman, perbuatan atau hukuman yang menurunkan martabat dan tidak berprikemanusiaan; (c) hak untuk mendapatkan perlindungan yangs etara sesuai dengan norma humaniter dalam situasi konflik bersenjata internal atau internasional, (d) hak atas kebebasan dan keamanan seseorang, (e) hak untuk mendapatkan perlakuan yang setara di depan hukum, (f) hak untuk mendapatkan kesetaraan dalam keluarga, (g) hak untuk mendapatkan standar kesehatan tertinggi baik fisik maupun psikis, (h) hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang layak dan menguntungkan.

6.     Rekomendasi Umum No 33 CEDAW tentang Akses pada keadilan. Meski perempuan korban meninggal, namun negara wajib menegakkan keadilan dengan menginvestasi kasusnya, memberi ganti rugi  kepada kelauarganya dan pemulihan yang diperlukan serta menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya.

7.     Rekomendasi Umum No 35 yang merupakan perluasan dari Rekomendasi Umum No 19 tentang Penghapusan Kekearasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa kekerasan tersebut merupakan masalah sosial dan bukan individual sehingga membutuhkan respons yang komprehensif dari negara. Rekomendasi ini menjelaskan bahwa kekerasanberbasis gender terjadi  di semua tempat dan ruang interaksi  manusia, publik maupun pribadi, termasuk dalam pengaturan konteks keluarga, komunitas, ruang publik. Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dapat diakibatkan oleh perbuatan, pengabaian atau kelalaian aktor negara atau bukan negara,  yang bertindak secara territorial atau ekstrateritorial, termasuk tindakan militer ekstrateritorial negara, secara individu atau sebagai anggota organisasi atau koalisi internasional atau antar pemerintah, atau ekstraterritorial atau koalisi internasional atau antar pemerintah, atau ekstrateritorial operasi perusahaan swasta.

8.     Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah disahkan melalui UU No 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights People With Disabilities (CRPD)dan diturunkan dalam UU No 8 Tahun 2016 tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas memiliki kerentanan berlapis dibandingkan dengan perempuan non disabiliats. Pertama, karena gendernya. Kedua, kondisi disabilitas yang mengakibatkan mereka mengalami berbagai hambatan. Pasal 5 menyatakan hak perempuan penyandang untuk “bebas dari tindakan diskriminasi, pelantaran, penyiksaan dan eksploitasi. (Ayat iv).

9.     Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia kemudian mengimplimentasikan konvensi tersebut melalui Undang-Undang Perlindungan Anak tahun 2002 tentang   Perlindungan Anak No 23 yang direvisi dengan UU No 35 Tahun 2014 dan UU No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

10.                        Dokumen hasil Pertemuan Tinjauan Regional Beijing +25 yang diorganisir Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa pada Oktober 2019 menyatakan mendukung prakarsa Pemantau Femisida ( Femisida Watch). Rekomendasi No 31 menyerukan kepada semua negara agar membangun badan nasional multi disipliner seperti Pemantau Femisida yang bertujuan bekerja secara aktif untuk pencegahan femisida atau pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan.

11.                        Sekjen PBB pada pertemuan Tingkat Tinggi Konferensi Dunia IV tentang Perempuan pada 1 Oktober 2020 menyerukan tindakan afirmasi untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan termasuk femisida.

12.                        Pembangunan Berkelanjutan (SDGS) tujuaan 16.1 “Pengurangan secara signifikan jumlah segala bentuk kekerasan dan angka kematian perempuan di mana pun”.

        Femisida masih belum sepenuhnya mendapat tempat dalam kerangka hukum nasional.  Akibatnya, perkara-perkara pembunuhan yang seharusnya masuk ke ranah femisida, tumpang tindih  dengan kejahatan-kejahatan lainnya. Berdasarkan aturan-aturan tersebut dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan di Indonesia belum mendifinisikan fenomena penanganan kasus femisida yang telah disepakati secara global sebagaimana definisi menurut Deklarasi Wina, dimana  penanganan femisida masih bersifat umum, definisi femisida sebagai salah satu bentuk pembunuhan motifnya belum terlihat terkait gender korban. Misalnya Pembunuhan perempuan akibat kekerasan oleh pasangan intim/rumah tangga tidak secara spesifik mendefinsikan kasus sebagai bagian dari femisida. Sebagaimana UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga dan KUHP yang berlaku, kasus berikut lebih mengarah dan condong ke kasus pembunuhan umum yang melihat perempuan korban tindak KDRT yang menyebabkan hilangnya nyawa korban. Pasal 5 UU PKDRT melarang kekerasan rumah tangga dengan cara : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. KDRT yang menyebabkan kematian setara dengan tindak pidana pembunuhan ( Pasal 338 KUHP) atau penganiayaan berat dengan rencana ( Pasal 352 ayat 2). Penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan tidak   didefinisikan sebagai kasus femisida dan landasan hukum yang berlaku merujuk ke KUHP dan bila perlu UU Perlindungan Anak. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas nama kehormatan seseorang maupun kolektif tidak diatur dalam undang-undang yang berlaku. Aturan pasal yang memayungi kasus kasus spesifik atas nama kehormatan  lebih umum sehingga motif ini mengarah pada rujukan KUHP. Pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks konflik bersenjata belum memiliki aturan khusus dalam perundang-undangan di Indonesia, sepenuhnya merujuk ke KUHP. Pembunuhan perempuan terkait mahar belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, landasan hukum yang digunakan merujuk KUHP. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan karena orientasi seksual dan identitas gender mereka hingga saat ini belum memiliki hukum yang khusus mengatur hal tersebut. Dalam praktiknya motif pembunuhan terhadap perempuan dan anak ini berlaku ketentuan KUHP serta UU Perlindungan Anak.

Pembunuhan perempuan dan anak perempuan penduduk asli karena jenis kelamin hingga kini belum diatur dalam perundang-undangan khusus yang mengatur motif pembunuhan tersebut. Landasan hukum yang digunakan sebagai rujukan adalah KUHP dan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pasal 4 huruf B angka 4 menyatakan” Melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerosaan, perbuatan cabul,  pencurian dengan kekerasan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan , atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis’. Pembunuhan bayi perempuan dan pembunuhan janin berdasarkan jenis kelamin belum memiliki landasan hukum yang mengatur mengenai motif pembunuhan tersebut ataupun aborsi selektif atas dasar jenis kelamin. Perundang-undangan yang dijadikan rujukan adalah KUHP dan UU Perlindungan Anak. Kematian terkait P2GP belum diatur dalam peraturan khusus yang melarang praktik tersebut secara jelas. Pembunuhan perempuan karena tuduhan sihir tidak memilki hukum yang khusus mengatur hal tersebut.Pembunuhan berbasis gender lainnya yang brhubungan deng geng, kejahatan terorganisir, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan penyebaran senjata api belum diatur secara khusus. Motif pembunuhan tersebut merujuk pada KUHP dan UU Pemberantasn Tindak Pidana Perdagangan Orang.

 Berdasarkan uraian di atas jelaslah dalam perundang-undangan nasional, femisida ditempatkan sebagai kriminalitas umumnya dan bukan kejahatan berbasis gender.

         Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum terkait femisida di Indonesia adalah;

a.     Pembunuhan sebagaimana diatur dalam  Pasal 338 KUHP “ Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain. Diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun”.

Ada dua unsur essensial dalam pasal ini yaitu adanya  unsur subjektif  dengan sengaja dan unsur objektif  menghilangkan nyawa orang lain.

b.     Pembunuhan disertai atau didahului Tindak Pidana lain sebagaimana diatur dalam Pasal 339 KUHP. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempemudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.

c.      Pembunuhan Berencana  sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP

“Barangsiapa yang dengan sengaja  dan dengan rencana terlebih dahulu merampas jiwa orang lain, karena melakukan pembunuhan berencana, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun.”

d.     Tindak Pidana penganiayaan yang Menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam  Pasal 351 ayat 3 KUHP.

e.      Penganiayaan dengan rencaan terlebih dahulu jika mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 353 Ayat 3 KUHP;

f.       Penganiayaan berat jika mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 354 Ayat 2 KUHP;

g.     Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dan mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 355 Ayat 2 KHUP;

h.     Penelantaran yang Menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 Ayat 2 KUHP;

i.        Perbuatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 304 KUHP ( menempatkan atau membiarkan sesorang dalam keadaan sengsara) dan Pasal 305 KUHP ( menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak) yang mengakibatkan kematian.

j.       Pemerkosaan yang Menyebabkan Kematian sebagimna diatur dalam Pasal 291 Ayat 2 KUHP;

k.     Perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 285  KUHP ( pemerkosaan), Pasal 286 KUHP ( persetubuhan), Pasal 287 KUHP ( persetubuhan dengan anak), Pasal 289 KUHP (perbuatan cabul) dan Pasal 290 KUHP ( perbuatan cabul terhadap anak) yang  mengakibatkan kematian.

l.        Kekerasan terhadap Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76 CUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang_Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”

m.  Kekerasan seksual terhadap Anak yang menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 76 D UU Perlindungan Anak “Setiap orang  dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”

n.     Pembunuhan Anak (Perempuan) sebagaimana diatur dalam  Pasal 341 KUHP ‘Seorang ibu yang karena takut akan diketahui bahwa dia melahirkan anak dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

o.     Pembunuhan Anak (prempuan)  sebagaimana diatur dalam pasal 342 KUHP “ Seorang ibu yang untuk melaksanakan keputusan yang diambilnya karena takut akan diketahui bahwa dia akan melahirkan anak, menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan berencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”

p.     Pengguguran dan Pembunuhan terhadap Kandungan/Janin (Aborsi) sebagaimana diatur dalam Pasal 75   UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan “Perbuatan yang dilarang, kecuali terhadap indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan” ;

q.     UU perlindungan Anak Pasal 45 A menyatakan setiap orang melakukan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.

r.      Pasal 347 KUHP “ Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

s.      Pasal 347 KUHP

1.     Barang siapa dengans engaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuan wanita itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

2.     Jika perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, dia dinacam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun

t.         Pasal 348 KUHP

1. barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuan wanita lain, diancam dengan pidana penjara selama paling lama lima tahun enam bulan;

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, dia diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

         u.  Pasal 449 KUHP

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat emmbantu melakukan kejahatan tersebut dalam pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diteragkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal itu dapat ditambah  dengans epertiga dan dapat dicabut haknya untuk menjalankan pekerjaannya dalam mana kejahatan itu dilakukan.

v.     Pembunuhan Berhubungan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)  Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang(PTTPO) .         

KESIMPULAN

     Bentuk-bentuk dan difinisi definisi femisida  hampir tidak terdengar dan terintegrasi secara optimal sebab peraturan  perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan daerah di Indonesia  masih belum memberikan definisi jelas tentang kekerasan dan pembunuhan berbasis gender yaitu pembunuhan perempuan karena ia perempuan;

     Belum ada payung hukum yang membedakan antara kasus pembunuhan berbasis gender  yang korbannya perempuan dengan pembunuhan sebagai kriminalitas umum. Belum ada aturan tentang  tindak pidana penghilangan nyawa berbasis gender.

 

 

                                                                                          

JUDICAL WELLBEING POLICY MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MENTAL HAKIM UNTUK INDEPENDENSI PERADILAN

on Selasa, 29 Oktober 2024. Posted in Berita/Pengumuman Terkini

JUDICAL WELLBEING POLICY MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MENTAL HAKIM UNTUK INDEPENDENSI PERADILAN

 

JUDICIAL WELLBEING POLICY: MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MENTAL HAKIM UNTUK INDEPENDENSI PERADILAN

Muhammad Taufiq

Yudhistira Gilang Perdana

Hakim Pengadilan Negeri Sungai Penuh

Hakim Pengadilan Negeri Calang

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Abstrak

Hakim adalah manusia yang memiliki keterbatasan kemampuan dengan segala konsekuensi dan tanggung jawab, dalam menjalankan tugas yudisial hakim dituntut memberikan rasa keadilan, tekanan saat mengadili, pasca putusan, bahkan pasca sanksi, dapat menjadi pemicu masalah kesehatan mental, sejalan dengan itu remunerasi hakim wajib diperhatikan. Integritas Hakim adalah kunci untuk mewujudkan Independensi Peradilan, kebijakan yang berbasis pada kesejahteraan hakim harus digulirkan, Hakim umumnya menghadapi tekanan dari pekerjaan yang menuntut intelektual, beban kerja yang tinggi, dan pengawasan media serta masyarakat, Australia Wellbeing Survey of Australia’s Judiciary Reveals Risk of Distress and Burnout, Mei 2019 mengungkapkan bahwa Hakim berisiko mengalami kelelahan dan trauma, berdasarkan Judicial Wellbeing Survey 2021, report and action plan oleh Judiciary of England and Wales disebutkan salah satu tujuan inti strategi kesehatan dan kesejahteraan yudisial adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesejahteraan mental, selain itu faktor keuangan merupakan komponen penting dalam konsep Independensi peradilan.

Kata kunci: Kesejahteraan Mental Hakim, Remunerasi Hakim, Judicial Wellbeing, kesehatan mental hakim.

Pendahuluan

Secara kontekstual, independensi peradilan bisa diartikan segala faktor atau kondisi yang mendukung sikap batin hakim, yang bebas mengungkapkan nuraninya terhadap keadilan, salah satu faktor ada atau tidaknya independensi peradilan adalah Integritas Hakim, secara singkat Integritas dapat diartikan sebagai kapasitas mental dan fisik, yang menitikberatkan pada upaya peningkatan kesejahteraan,1 No Health Without Mental Health adalah pernyataan yang disampaikan Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus (Director General World Health Organization) dalam kata pengantarnya dalam world mental health report: transforming mental health for all, yang ditindaklanjuti oleh dengan ditetapkannya comprehensive mental health action plan 2013–2030.2 kesejahteraan dikaitkan juga dengan remunerasi, sehingga Hakim seharusnya tidak perlu lagi khawatir tentang kondisi keuangan baik sekarang maupun di hari tua.

Hakim dalam kedudukannya sebagai pejabat negara telah dinyatakan dalam konstitusi Indonesia Pasal 24 ayat (2). Bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh lembaga negara, namun sesungguhnya yang melakukan secara nyata adalah hakim dalam kedudukan sebagai pejabat negara. Hakim sebagai pejabat negara ditegaskan juga dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 58 huruf e Undang-Undang

1 Adinda Thalia Zahra , Aditia Sinaga , Muhammad Rafli Firdausi, “PROBLEMATIKA INDEPENDENSI HAKIM SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN”, Bureaucracy Journal: Indonesia,vol. 3 No. 2 (2023), hlm.2020

2World Health Organization, World mental health report: transforming mental health for all, (Geneva: World Health Organization; 2022),hlm.vi, https://www.who.int/teams/mental-health-and-substance-use/world-mental-health-report diakses pada 06 Maret 2024.

Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara. Hakim sebagai pejabat negara memiliki tugas utama mengadili perkara, Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Zaid Umar Bobsaid ketika menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar sebagai narasumber Focus Group Discusion yang dilakukan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI di Denpasar tanggal 24-28 Agustus 2020, memberikan pernyataan bahwa tugas Hakim tidak hanya dihadapkan dengan tanggung jawab untuk memutus perkara dengan benar dan adil yang dapat diterima oleh para pihak, hakim juga dihadapkan pada berbagai tekanan baik fisik maupun mental oleh para pihak yang berperkara dan pada beberapa kasus berat yang pernah ditangani, beliau mendapat intimidasi fisik yang mengancam keselamatan.3

Negara telah mengatur kesejahteraan hakim dalam bentuk Hak keuangan dan fasilitas sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 Tentang Hak Keuangan Dan Fasilitas Hakim, hingga sekarang pemenuhan hak keuangan dan fasilitas bagi hakim belum tuntas direalisasikan, berkembang isu kesejahteraan peradilan atau dikenal dengan istilah Judicial wellbeing, kesehatan mental menjadi salah satu tujuan inti strategi Judicial wellbeing, implementasi jaminan kesehatan hakim telah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung bersama Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia telah bersinergi dengan BPJS Kesehatan berdasarkan nota kesepahaman nomor:04/KMA/NK/XI/2022 dan nomor:35/MoU/1122 tanggal 8 November 2022.4 Setelah itu diterbitkannya Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 184/KMA/SK.KP5.2/IX/2023 Tentang Pedoman Pemberian Jaminan Kesehatan Bagi Hakim Pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung, kemudian ditetapkan PT Asuransi Jiwa Mandiri Inhealth Indonesia, sehingga pada tahun 2024 Hakim sudah mendapatkan asuransi, namun bagaimana dengan kesejahteraan mental dalam hal ini berkaitan dengan kesehatan mental hakim yang belum diakomodir oleh asuransi. Penelitian International Commission of Justice yang berjudul “Reviewing Measures to Prevent and Combat Judicial Corruption” pada tahun 2010, memberi konfirmasi bahwa salah satu penyebab korupsi peradilan adalah rendahnya remunerasi yang diterima hakim,5 lalu timbul pertanyaan apakah Hak Keuangan yang selama ini diterima hakim itu sudah cukup? maka dalam konteks ini penulis menjawab sudah cukup, namun apabila kita tarik ke pertanyaan filosofi apakah hak keuangan tersebut sudah memberikan rasa adil bagi hakim? jawabannya relatif tidak, karena di satu sisi hakim harus memberikan rasa adil bagi pencari keadilan sebagai tombak kekuasaan kehakiman dimana dalam menjalankan tugas yudisialnya harus bebas dari segala bentuk intervensi, maka menurut penulis harus dibuat suatu kebijakan yang komprehensif mengenai judicial wellbeing yang muaranya kepada Integritas berbentuk layanan kesehatan mental dan peningkatan remunerasi hakim. Penelitian ini dibuat untuk memberikan gambaran kepada policy maker agar membuat strategi judicial wellbeing yang tujuan intinya adalah meningkatkan kesejahteraan hakim baik kesejahteraan mental dan finansial, hal tersebut menjadi faktor penentu integritas hakim ketika menjalankan tugas yudisialnya secara independen, sebagaimana kode etik dan pedoman perilaku hakim. Berdasarkan metode dan analisis yang digunakan studi ini termasuk jenis doctrinal legal research yang diperoleh melalui studi literatur ditambah

3 Hendrik Khoirul Muhid, “Disebut Tak Setara dengan Tanggung Jawabnya, Berapa Gaji Hakim?”,tempo.co (22 Januari 2022), https://nasional.tempo.co/read/1552868/disebut-tak-setara-dengan-tanggung-jawabnya-berapa-gaji-hakim, diakses 07 Maret 2024.

4Admin IKAHI, “Pemenuhan Jaminan Kesehatan Bagi Hakim” ikahi.or.id (04 September 2023), https://www.ikahi.or.id/berita/pemenuhan-jaminan-kesehatan-bagi-hakim,diakses 07 Maret 2024.

5Oce Madril, “Nasib Kesejahteraan Hakim” pukatkorupsi.ugm.ac.id (2015), https://pukatkorupsi.ugm.ac.id/?p=3809,diakses 07 Maret 2024.

pengetahuan dan pengalaman penulis selama bertugas. Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif-eksplanatif yang bertujuan untuk menjelaskan judicial wellbeing dalam konteks kesejahteraan mental dikaitkan dengan independensi hakim, adapun rumusan masalah yang penulis angkat sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan Judicial wellbeing dengan Independensi Peradilan?

2. Bagaimana implementasi untuk mewujudkan kesejahteraan mental hakim dalam konsep judicial wellbeing?

Bahwa dengan adanya tulisan ini, penulis berupaya memberikan gambaran kepada pengambil kebijakan agar dapat merasakan apa yang dirasakan oleh hakim di daerah dengan segala tantangan dan hambatan, namun tetap melaksanakan tugas yudisial dengan penuh integritas sehingga kesejahteraan mental menjadi hal yang penting. Semoga bermanfaat dan dapat menjadi referensi bagi siapapun yang membaca serta melanjutkan penelitian mengenai judicial wellbeing, terkhusus kepada lembaga legislatif dan eksekutif untuk memberikan jaminan kesejahteraan pribadi dan profesional kepada hakim sebagai pelaksana fungsi peradilan yang independen.

Pembahasan

Kesejahteraan Mental Dalam Konsep Judicial Wellbeing

Judicial Wellbeing menurut Bagus Takwin (Dekan Fakultas Psikolog Universitas Indonesia) narasumber dalam seminar Judicial Wellbeing for Judiciary pada Selasa, 23 Agustus 2022 di Hotel Grand Mercure, Jakarta berpendapat bahwa Judicial Wellbeing adalah pengalaman kesehatan, kegembiraan, dan kemakmuran, termasuk memiliki kesahatan mental yang baik, kepuasan hidup yang tinggi, rasa bermakna atau memiliki tujuan, serta kemampuan mengelola stress para petugas peradilan.6 Kesejahteraan mental adalah kondisi yang sehat, bahagia, dan sejahtera, kesejahteraan mental yang baik dapat membantu seseorang menjalani hidup yang berkualitas, berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat.7

Dengan memiliki wellbeing, para hakim bisa menjaga kesehatan fisik dan mental secara bersamaan. Wellbeing juga bisa berdampak pada kinerja dan kualitas pengambilan keputusan yudisial. Sementara itu, Psikolog yang juga Koordinator Peminatan Psikologi Klinis Dewasa Dr. Yudiana Ratna Sari, M.Si., menyampaikan bahwa untuk memiliki wellbeing, seseorang harus menyenangi pekerjaannya, harus bisa memberi makna dalam setiap apapun yang dikerjakan. “Ketika kita bisa menyenangi dan memberi makna atas apapun yang kita lakukan, hambatan apapun, bahkan ketika sakit pun, semua akan menyenangkan,” katanya. Dengan menghayati dan memberi makna pada setiap pekerjaan, maka tubuh dan pikiran yang sehat bisa menghasilkan jiwa yang kuat, sehingga berimbas pada peradilan yang sehat dan bahagia.8

Bahwa pada tahun 2023 telah dilaksanakan survei kesejahteraan yudisial (Judicial Wellbeing) pada hakim di Indonesia oleh Mochamad Mirza S.Psi., bersama Dr. Endang Parahyanti. Berdasarkan disposisi PLH Ketua Mahkamah Agung RI kepada Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung RI Surat Nomor

6 Azizah, “IKAHI CABANG KHUSUS MAHKAMAH AGUNG GELAR SEMINAR TENTANG JUDICIAL WELLBEING”www.mahkamahagung.go.id (23 Agustus 2022), https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5365/ikahi-cabang-khusus-mahkamah-agung-gelar-seminar-tentang-judicial-wellbeing, diakses tanggal 07 Maret 2024

7 Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, “KEBIASAAN SEHARI-HARI YANG BISA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MENTAL”diskes.badungkab.go.id (29 Januari 2024), https://diskes.badungkab.go.id/artikel/54986-kebiasaan-sehari-hari-yang-bisa-meningkatkan-kesejahteraan-mental#:~:text=Kesejahteraan%20mental%20adalah%20kondisi%20yang,dan%20mengambil%20keputusan%20yang%20tepat, diakses tanggal 26 Maret 2024

8 Azizah, “IKAHI CABANG KHUSUS MAHKAMAH AGUNG GELAR SEMINAR TENTANG JUDICIAL WELLBEING”www.mahkamahagung.go.id (23 Agustus 2022), https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5365/ikahi-cabang-khusus-mahkamah-agung-gelar-seminar-tentang-judicial-wellbeing, diakses tanggal 07 Maret 2024

KESEJAHTERAAN MENTAL

KESEHATAN MENTAL

REMUNERASI

FINANSIAL

NON FINANSIAL

78/TuakaBin/VI/2023 tanggal 8 Juni 2023 dan surat PP IKAHI Nomor 090/PP.IKAHI/V/2023 tanggal 29 Mei 2023 tentang ijin dan dukungan pengambilan data penelitian "Kesejahteraan Yudisial (Judicial Wellbeing) pada Hakim di Indonesia". Penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan gambaran judicial wellbeing Hakim di Indonesia, khususnya pada aspek psikologi. Penelitian tersebut akan digunakan sebagai data empiris untuk memberikan masukan kepada lembaga untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan yudisial hakim di Indonesia, dengan diadakannya survey kesejahteraan peradilan/judicial wellbeing kepada seluruh Hakim di Indonesia.

Ilustrasi 1. kerangka pemikiran penulis

Ilustrasi 2. kerangka pemikiran penulis

Pada Januari 2024, Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengumumkan telah menerbitkan surat edaran Nomor: SE-1/MBU/01/2024 tentang Employee Well-Being Policy (EWP) di Lingkungan BUMN yang ditetapkan tanggal 18 Januari 2024, latar belakang ditandatanganinya surat edaran tersebut adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara menyadari betapa sangat pentingnya masalah kesehatan mental. Namun, nyatanya hal itu justru kerap disepelekan dan masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat.9 Salah satu programnya adalah 1.000 manusia bercerita, program ini merupakan program Kementerian BUMN yang mengajak 1.000 pekerja BUMN di seluruh Indonesia untuk berdiskusi dan melakukan aktivitas untuk menjaga kesehatan mental, dan Pertamina sebagai BUMN juga memiliki wadah

9 Raden Jihad Akbar, Mohammad Yudha Prasetya, “Erick Thohir Jamin Kesehatan Mental Seluruh Pegawai BUMN, Begini Caranya” viva.co.id (19 Januari 2024), https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1679156-erick-thohir-jamin-kesehatan-mental-seluruh-pegawai-bumn-begini-caranya diakses pada tanggal 21 Maret 2024;

Laporan dan rencana aksi

Policy

Survey Judicial Wellbeing

afirmatif yang mendukung kesehatan mental seperti konsultasi dan pembinaan, komunitas olahraga dan komunitas seni.10

Merujuk pada kebijakan Kementerian BUMN mengenai Employee Well-Being Policy (EWP) secara konsep serupa dengan Judicial Wellbeing yang tidak terbatas pada kesehatan mental tetapi juga finansial hakim itu sendiri, maka dari itu perlu dibuat kebijakan mengenai Judicial wellbeing secara komperehensif untuk mendukung keseimbangan professional dan pribadi yang dapat membantu menciptakan lingkungan kerja positif bagi hakim sehingga dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim dapat bersikap independen.

Integritas faktor utama independensi hakim Integritas adalah konsisten berperilaku selaras dengan nilai, norma dan/atau etika organisasi, serta jujur dalam hubungan dengan manajemen, rekan kerja, bawahan langsung, dan pemangku kepentingan, menciptakan budaya etika tinggi, bertanggungjawab atas tindakan atau keputusan beserta risiko yang menyertainya,11 integritas adalah kualitas, sifat, atau keadaan yang menunjukkan suatu kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan untuk memancarkan wibawa dan kejujuran.12 Sedangkan menurut syamsir dan embi integritas adalah kecocokan antara hati, ucapan dan tindakan.13 Dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komis Yudisial RI Nomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KU/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim diimplementasikan dalam 10(sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut: (1).Berperilaku Adil, (2). Berperilaku Jujur, (3). Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4). Bersikap Mandiri, (5). Berintegritas Tinggi, (6).Bertanggung Jawab, (7). Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8). Berdisplin Tinggi, (9). Berperilaku Rendah Hati, (10). Bersikap Profesional, aturan perilaku kelima adalah berintegritas tinggi, integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.

Bahwa dari definisi-definisi yang penulis jabarkan diatas, Integritas melekat pada pribadi, ada di relung hati setiap manusia terkhusus hakim yang dalam menjalankan tugas yudisialnya selalu menggunakan hati nurani, namun tentu saja ada faktor yang mempengaruhi hati nurani manusia sebagaimana dalam QS. Al-An’am: 110 Allah SWT berfirman, “dan kami bolak-balikan hati mereka dan penglihatan mereka”, ayat tersebut mengandung makna bahwa hati nurani manusia itu mudah berubah, kadangkala di jalan yang benar dan adakalanya menjadi khilaf, sedangkan dalam perjanjian baru, hati nurani disebutkan suneidēsis, yang berarti kesadaran moral atau pengetahuan moral, hati nurani bereaksi saat tindakan, perbuatan dan perkataan seseorang sesuai,

10 Fahri, “Jaga Kesehatan Mental, Pertamina dan Kementerian BUMN Gelar Program 1.000 Manusia Bercerita” liputan6.com (28 Februari 2024), https://www.liputan6.com/news/read/5538129/jaga-kesehatan-mental-pertamina-dan-kementerian-bumn-gelar-program-1000-manusia-bercerita?page=2, diakses tanggal 24 Maret 2024

11PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARADANREFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KOMPETENSI JABATAN APARATUR SIPIL NEGARA

12Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, KBBI VI Daring “definisi integritas” kbbi.kemdikbud.go.id (2016), https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/integritas, diakses tanggal 27 Maret 2024

13Syamsir. S. and Muhamad Ali Embi, “Integrity Development Through PSM For Corruption Prevention Among Public Servant”, International Journal of Psychosocial Rehabilitation, Vol. 24, Issue 08, 2020, hlm. 1437-1448.

atau bertentangan dengan sebuah standar mengenai benar dan salah, maka dari itu sangat berkaitan dengan Independensi.

Independensi dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim terdapat pada penerapan perilaku hakim bersikap mandiri, dalam poin dua yang berbunyi hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian (independensi) hakim dan badan peradilan, adjektiva “independen dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan”, menurut Jimly Asshidiqie memiliki makna institusional dan fungsional.14 Hakim harus memiliki sifat yang independen, memiliki moralitas dan keadilan yang tinggi, jujur, dan memiliki pengetahuan yang luas di bidangnya, mereka harus mematuhi kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagai persyaratan untuk menjalankan tugasnya sebagai hakim independen yang mengutamakan supremasi hukum dan keadilan melalui sistem peradilan.15

Pada tahun 2016, UNODC (United Nations Office on Drugs Crime) membahas keterkaitan integritas peradilan dan pemberantasan korupsi kemudian meluncurkan program global untuk mempromosikan budaya taat hukum. Hal tersebut mencakup pembentukan jaringan integritas peradilan global untuk berbagi praktik terbaik dan pembelajaran mengenai tantangan mendasar dan pertanyaan baru terkait integritas peradilan dan pencegahan korupsi.16 Dengan demikian integritas merupakan faktor utama independensi hakim, namun faktanya ada hal yang mempengaruhi integritas hakim, salah satunya intervensi finansial yang secara langsung mempengaruhi mental hakim, maka hakim harus diberikan porsi kesejahterannya, karena dengan memberikan kesejahteraan mental yang erat hubungannya dengan finansial, hal itu akan membentuk karakter integritas dan budaya integritas yang mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.

Kesehatan Mental Di Zaman Modern Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit mental. Hal ini sesuai dengan tugas seorang konselor yang berusaha membantu seseorang mengenal kekuatan/potensi dirinya sendiri yang pada hakekatnya Allah SWT berikan, sehingga dapat tumbuh menjadi pribadi yang unggul. Dengan demikian sebenarnya orang yang sehat mental dapat dilihat dari kemampuan mencapai derajat hidup yang mulia dan bermanfaat bagi orang banyak.17 Prof. Dr. Zakiah Daradjat berkesimpulan bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit mental, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada semaksimal mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya keharmonisan jiwa dalam hidup. Pendapat tersebut menekankan bahwa kesehatan mental hakekatnya mengarah kepada pemikiran dan perilaku positif seseorang dalam menghadapi kondisi dirinya, orang lain dan masyarakat yang sedang dan akan bertumbuh agar selaras dengan keberadaan dirinya. mental health dalam perspektif WHO menjadi kebutuhan pokok umat manusia

14 Adinda Thalia Zahra, Aditia Sinaga, Muhammad Rafli Firdausi, “PROBLEMATIKA INDEPENDENSI HAKIM SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN” Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, Vol. 3 No. 2 Mei - Agustus 2023, hlm.2009-2025.

15 Adinda Thalia Zahra,dkk , “PROBLEMATIKA INDEPENDENSI HAKIM…., Vol. 3, hlm. 2016

16 Diego García-Sayán, “Corruption, Human Rights, and Judicial Independence” unodc.org (July 2017), https://www.unodc.org/dohadeclaration/en/news/2018/04/corruption--human-rights--and-judicial-independence.html, diakses tanggal 24 Maret 2024.

17 Restu Permadi, Fifiana Wisnaeni, “Tinjauan Hukum Kemandirian Dan Independensi Mahkamah Agung Didalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” Jurnal Pembangunan Hukum Volume 2, Nomor 3, Tahun 2020, hlm 399-415.

dalam konsep kesehatan mental. Mental yang sehat atau yang sering disebut mental health adalah apabila manusia dapat tumbuh dan berkembang dengan matang dalam hidupnya, menerima tanggung jawab dan melakukan penyesuaian serta berpartisipasi dalam memelihara aturan sosial dan budayanya demikian pendapat Frank, L.K.18

Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.19 Untuk mengetahui apakah seseorang sehat atau tidak sehat jiwanya dapat dilihat dari 4(empat) aspek yaitu:20 1. Perasaan. Ditinjau dari aspek perasaan, sehat atau tidak sehatnya jiwa seseorang dapat dilihat dari muncul atau tidaknya kondisi-kondisi gangguan perasaan seperti: rasa cemas (gelisah), iri hati, sedih, merasa rendah diri, pemarah serta ragu atau bimbang. 2. Pikiran atau Kecerdasan. Ditinjau dari aspek pikiran atau kecerdasan, sehat atau tidak sehatnya jiwa seseorang dapat dilihat dari muncul atau tidaknya kondisi-kondisi gangguan pikiran seperti: sering lupa, sulit berkonsentrasi dan kemampuan berfikir menurun. 3. Kelakuan. Ditinjau dari aspek kelakuan, sehat atau tidak sehatnya jiwa seseorang dapat dilihat dari muncul atau tidaknya kondisi-kondisi gangguan kelakuan seperti: mengganngu ketenangan dan hak orang lain, mencuri, menyakiti dan memfitnah. 4. Kesehatan badan. Ditinjau dari aspek kesehatan badan, sehat atau tidak sehatnya jiwa seseorang dapat dilihat dari muncul atau tidaknya penyakit Psychosomatic yang menyebabkan gangguan kesehatan badan seperti jantung berdebar, pusing, mual dan muntah. Bahwa faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang menurut darajat adalah sebagai berikut:21 1. Faktor Internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang seperti: kepribadian, kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, keberagamaan, sikap menghadapi problema hidup, kebermaknaan hidup, dan keseimbangan dalam berfikir; 2. Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri seseorang yang dapat mempengaruhi mental seseorang seperti: keadaan ekonomi, budaya, dan kondisi lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan. Apabila dua faktor tersebut diatas diimplementasikan kepada hakim, sebagaimana pengalaman dan pengetahuan penulis dikaitkan hasil survey Judicial Wellbeing Survey 2021 Report and Action Plan JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES , maka yang mempengaruhi kesehatan mental adalah sebagai berikut:

18 Ghazali Bahri, Kesehatan Mental I (Bandar Lampung: Harakindo, 2016) hlm.14

19 Pasal 1 angka 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA

20 Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982)

21 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: PT Gunung Agung, 2001),

Ilustrasi 3. kaitan judicial wellbeing dengan independensi oleh penulis

Kesehatan hakim sangat penting bagi pelaksanaan tugas yudisial, kebijakan kesehatan dan kesejahteraan harus dikembangkan dari waktu ke waktu untuk memastikan pemegang jabatan yudisial didukung untuk tetap sehat, apabila sakit harus dibuat langkah-langkah untuk mendukung agar dapat kembali bekerja, di Inggris dan Wales pada bulan Februari 2021, strategi kesehatan dan kesejahteraan yudisial yang pertama diluncurkan oleh Judiciary of England and Wales, yaitu sebuah rencana empat tahun yang terdiri dari enam tujuan inti sebagai berikut:22 1. promoting the judicial welfare offer; 2. centralising welfare information and having a visible and clear route for access to services; 3. raising awareness of the importance of mental wellbeing; 4. building an inclusive culture across the judiciary; 5. prevention: actions to support the judiciary to stay healthy and sitting; 6. intervention: actions to support judicial office holders during periods of sickness absence; Bahwa dalam survei yang dilaksanakan oleh Judiciary Of England and Wales yang bertajuk survei kesejahteraan peradilan 2021 (laporan dan rencana aksi), yang mana survei ini disebarkan kepada 21.713 pemegang jabatan

22 JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES, Judicial Wellbeing Survey 2021 – Report and Action Plan 2022

(JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES, Judicial Office, Royal Courts of Justice Strand London, 2022), hlm. 4,

https://www.judiciary.uk/wpcontent/uploads/2022/03/14.51_Judicial_Wellbeing_Survey_2021_Report_and_Action_Plan_FINAL2_WEB.pdf diakses tanggal 07 Maret 2024.

Faktor

Internal

Faktor

Eksternal

INTEGRITAS

INDEPENDENSI HAKIM

- Ketidak hati-hatian /ketidaktelitian

- Rasa aman & nyaman

- Merasa dihargai

- Emosi dan kebijaksanaan

- Moral dan spiritual

- Intervensi finansial, fisik &psikis

- Pasca sanksi

- Terlalu lama di satu tempat

- Jauh dari keluarga

- Beban kerja yang padat

Judicial Wellbeing Policy

yudisial (judicial office holders/JOH) di Inggris dan Wales, yang terdiri 13.177 hakim/magistrates, sebagaimana table dibawah ini.

Tabel 1. Stress and resilience

Current stress levels

51% of JOHs reported that they had experienced occasional manageable periods of stress. 23% were currently moderately stressed, 13% significantly stressed and 2% extremely stressed, while 11% were not stressed at all.

Symptoms of stress in the last 12 months

33% of JOHs reported no symptoms of stress, 27% reported physical symptoms of stress, 45% reported mental symptoms of stress and 48% reported behavioural symptoms of stress. JOHs were able to select all types of stress symptoms that applied so percentages will not sum to 100%.

Primary causes of stress in the last 12 months

Non work-related issues were reported by 41% of JOHs as a primary cause of stress, Covid-19 was reported by 34% of JOHs, judicial workload was reported by 24%, remote working was reported by 22% and screen time by 21%. JOHs were able to select up to three causes of stress therefore percentages will not sum to 100%.

Sickness absence and stress

94% of JOHs reported that they had not had any sickness absence due to stress, 4% said they had and 2% preferred not to say.

Current anxiety levels

24% of JOH were not anxious, 47% occasionally anxious, 19% moderately anxious, 8% significantly anxious and 2% extremely anxious. Significant levels of anxiety for all JOHs was five percentage points lower than significant levels of stress.

Sumber: Judicial Wellbeing Survey 2021 – Report and Action Plan JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES

Berdasarkan survey tersebut diatas yang dilakukan terhadap Judicial Office Holders (JOH) yang mana Hakim/magistrates menjadi objek survei, dapat ditarik kesimpulan bahwa 51% Judicial Office Holders (JOH) pernah mengalami periode stress dan hanya 11% yang tidak mengalami stres sama sekali, kemudian gejala stress yang paling tinggi persentasenya dalam dua belas bulan terakhir adalah gejala stres perilaku dan mental, dan yang paling mencengangkan bahwa persentase penyebab utama stres dalam dua belas bulan terakhir justru muncul dari masalah yang tidak terkait dengan pekerjaan sebanyak 41% sedangkan masalah yang tekait beban kerja yudisial hanya 24%, yang lebih mencengangkan lagi sebanyak 94% tetap masuk meskipun sakit karena stres, begitupun dengan tingkat kecemasan saat ini ada 47% yang mengatakan kadang-kadang cemas, meskipun survei tersebut dilakukan terhadap Judicial Office Holders (JOH) yang didalamnya termasuk Hakim di Inggris dan Wales, survei tersebut membuktikan bahwa hakim di negara maju seperti Inggris dan Wales faktanya mengalami kondisi stres.

Jaminan layanan kesehatan mental hakim Bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Judiciary of England and Wales tahun 2021 dalam survey, laporan, dan rencana aksi kesejahteraan peradilan dijelaskan saat ini terdapat berbagai dukungan yang tersedia untuk mendukung manajemen stres dan ketahanan dalam peradilan, termasuk pembelajaran online dan sesi tatap muka yang dikembangkan oleh Judicial

College. Selanjutnya dalam survey tersebut pemegang jabatan yudisial ditanya apakah dalam 12 bulan terakhir menggunakan salah satu dari dukungan berikut ini: - Saluran Bantuan Yudisial, - konseling khusus melalui Penyedia Bantuan Yudisial, - e-learning Mengelola Stres dan Membangun Ketangguhan, - e-learning Penilaian yang Bijaksana dan meditasi yang dipandu atau LawCare. Tabel 2. Use of the judicial mental wellbeing and stress support in the last 12 months Use of the judicial mental wellbeing and stress support in the last 12 months: 88% of JOHs said that they had not used any of the support listed, 12% had used one or more forms of support and 0.4% preferred not to say.

Sumber: Judicial Wellbeing Survey 2021 – Report and Action Plan JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES Berdasarkan survey tersebut diatas dari 12% yang menggunakan satu atau beberapa bentuk dukungan, diperoleh 3(tiga) bentuk dukungan teratas yang digunakan adalah: 1. berbicara dengan pemimpin peradilan; 2. Mengelola stres dan membangun ketahanan melalui e-learning 3. Penilaian dengan penuh kesadaran dan meditasi yang dipandu atau LawCare Bahwa Mahkamah Agung juga sudah mengakomodir, salah satunya mengadakan Pelatihan Kebahagiaan Kerja di Pengadilan Happines at work pada Tahun 2020 yang telah dilaksanakan dalam beberapa gelombang, oleh Pusdiklat Manajemen dan Kepemimpinan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Executive Learning Institute Prasetiya Mulya, hal tersebut menjadi salah satu langkah nyata untuk memberikan kesejahteraan mental kepada Aparatur Peradilan terkhusus Hakim, namun harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan bervariasi.

Program kesejahteraan peradilan di Inggris, Wales, dan Kanada Berdasarkan penelitian survei kesejahteraan peradilan/Judicial Wellbeing yang dilakukan oleh Judiciary of England and Wales pada tahun 2021, program yang pertama yang telah ada di Inggris dan Wales adalah saluran bantuan yudisial yang merupakan saluran telepon rahasia untuk lembaga peradilan dan keluarga dekat (pasangan dan anak-anak). Layanan ini memberikan akses langsung terhadap dukungan praktis dan emosional dari personel terlatih 24 jam sehari, setiap hari sepanjang tahun, tanpa dipungut biaya. awalnya dukungan dan konseling ini diberikan melalui telepon, namun konseling tatap muka juga diberikan kepada hakim bila diperlukan; Kedua, Perawatan Hukum/LawCare, merupakan badan amal yang memberikan dukungan kesehatan dan nasihat gratis, untuk peradilan dan anggota profesi hukum, sepanjang tahun, bahwa Hakim dapat mengakses situs web yang penuh dengan panduan bermanfaat, terdapat juga paket informasi yang bias diunduh dari situs web dan artikel yang menarik, lembaga ini memberikan kursus pelatihan tentang stres dan trauma, LawCare juga menyediakan portal kesejahteraan untuk membantu pengguna mengenali dan mengelola stres dalam hidup, dan hal tersebut ditanggapi positif oleh penggunanya. Ketiga, Judicial College, kalau di Indonesia serupa dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan yang bertanggung jawab untuk melatih para pemegang jabatan peradilan termasuk Hakim, dengan mengadakan pelatihan kepemimpinan untuk membantu para hakim mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab yang diberikan kepada Hakim. Judicial College menawarkan modul tentang mengelola stres, topiknya

mencakup pengenalan tentang stres dan bagaimana stres berkembang, potensi tekanan di lingkungan peradilan, bagaimana pemimpin lembaga peradilan dapat mengidentifikasi dan merespon tekanan yang dialami pihak lain, dan strategi mengenai bagaimana pemimpin lembaga peradilan dapat mengelola tekanan dari peran mereka sendiri. Keempat, diperkenalkannya Penasihat Regional Sumber Daya Manusia Yudisial yang merupakan bagian dari Kantor Yudisial, namun mereka bekerja dalam wilayah terdapat satu untuk setiap wilayah. Perannya adalah memberikan nasihat dan dukungan bagi para hakim dalam segala hal yang berkaitan dengan kesejahteraan peradilan. Bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk menjaga kesehatan mental Hakim, dengan mencegah stres dan kesehatan yang buruk sedini mungkin. Selain di Inggris dan Wales, di negara Kanada juga memiliki program terbaru yang dijalankan oleh peradilan Kanada tentang kesehatan peradilan, Peradilan Kanada memiliki akses terhadap layanan konseling rahasia yang gratis, lembaga ini juga menyediakan layanan konseling khusus bagi para hakim yang pernah menjalani persidangan yang menegangkan karena berurusan dengan perkara-perkara yang menarik perhatian publik. Lembaga ini menjalankan kursus yang disebut bertahan dan berkembang, mengoptimalkan produktivitas dan kesejahteraan peradilan. Topik yang dibahas meliputi trauma dan penanganan kasus-kasus penting, ada sesi mengenai kesejahteraan fisik dan psikologis para hakim, stres dan penuaan otak, menilai humor, manfaat tertawa ringan serta meditasi.23

Maka dengan demikian perlu dibuat upaya preventif yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, Mahkamah Agung dapat menyediakan dukungan psikososial dan kesehatan mental di lingkungan lembaga, sebagaimana di Pengadilan Inggris dan Wales seperti saluran bantuan yudisial, LawCare yang menyediakan portal kesejahteraan untuk membantu Hakim mengenali dan mengelola stres, pelatihan oleh Judicial College dengan membuat modul mengelola stres, membentuk Penasihat Regional SDM Yudisial yang merupakan bagian dari Kantor Yudisial atau Badan Pengawasan, serta contoh di Pengadilan Kanada yang membuat layanan konseling rahasia yang gratis terkhusus bagi hakim yang menderita trauma dan yang menangani kasus-kasus yang menarik perhatian publik;

Peningkatan Remunerasi Hakim Remunerasi pegawai merupakan usulan klasik yang tak lekang oleh waktu, remunerasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, remunerate menurut Oxford American Dictionaries berarti pay (someone) for services rendered or work done. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia kata remunerasi diartikan sebagai pemberian hadiah (penghargaan atas jasa dan imbalan), Remunerasi Menurut Mochamad Surya merupakan sesuatu yang diterima oleh pegawai dalam bentuk imbalan, yang mana pegawai telah berkontribusi terhadap perusahaan ataupun tempat mereka bekerja.24 Remunerasi sejalan dengan salah satu bentuk teori motivasi yaitu Goal-Setting Theory sebagaimana dikemukakan oleh Locke, Goal-Setting Theory menekankan pada pentingnya hubungan antara tujuan yang ditetapkan dan kinerja yang dihasilkan.25 Konsep dasarnya yaitu seseorang yang mampu memahami tujuan yang diharapkan oleh organisasi, maka pemahaman tersebut

23 Victoria Sharp, The Rt Hon. Lady Justice Sharp Dbe Vice President Of The Queen’s Bench Division, In Sickness And In Health Judicial Welfare in England and Wales (Committee for Judicial Studies National Conference 2016),hlm.9,https://www.judiciary.uk/wp-content/uploads/2017/04/lj-sharp-judicial-welfare-speech-20161118.pdf diakses tanggal 20 Maret 2024.

24 Mochammad Surya, Teori Remunerasi (Jakarta: Balai Pustaka,2004)

25 Locke, E. A., Toward a Theory of Task Motivation and Incentives. Organizational Behavior and Human Performance,1968, 3, 57-189

akan mempengaruhi prilaku kerja. Goal-Setting Theory mengisyaratkan bahwa seorang individu berkomitmen pada tujuan. Untuk mendorong semangat kerja Hakim, maka remunerasi finansial dan/atau non finansial adalah salah satu cara meningkatkan kesejahteraan mental hakim, sepatutnya setiap perbuatan, usaha, dan prestasi itu berbanding sejajar dengan imbalan, pahala, dan penghargaan, yang akan diberikan. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah: 105, “dan katakanlah, bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kinerja dan juga loyalitas Hakim, adalah dengan memberikan remunerasi finansial maupun non finansial sebagaimana pada gambar dibawah ini.26

Sumber: Skripsi Natasha Lutfi Aisyah Gambar.1 Komponen Remunerasi Bahwa remunerasi non finansial terdiri dari kepuasan yang diperoleh pegawai dari pekerjaan itu sendiri dan dari lingkungan pekerjaan, salah satunya kepuasan yang diperoleh pegawai dari pekerjaan yang dapat diciptakan oleh perusahaan/instansi dan pegawai yaitu efek psikologis dan fisik dimana orang tersebut bekerja, termasuk di dalamnya antara lain berupa kebijakan yang sehat dan wajar, supervisi dilakukan oleh pegawai yang kompeten, adanya rekan kerja yang menyenangkan, pemberian simbol status, terciptanya lingkungan kerja yang nyaman, adanya pembagian pekerjaan adil, waktu kerja yang fleksibel, dan lain-lain.27 Benefit remunerasi finansial menjadi hal utama, namun remunerasi non finansial dapat diterapkan sejalan, sebagai contoh penempatan yang dekat dengan keluarga, ada aparatur peradilan yang penempatan tugasnya di Aceh, sedangkan istri dan anaknya di Lampung, saat ini anaknya menderita sakit dan

26 Natasha Lutfi Aisyah, “Pengaruh Kebijakan Remunerasi Terhadap Kinerja Pegawai Di Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Uin Raden Intan Lampung”, Skripsi, Indonesia: Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung,2021, hlm.xxiv, http://repository.radenintan.ac.id/14191/1/skripsi%201-2.pdf diakses 26 Maret 2024.

27 Natasha Lutfi Aisyah, “Pengaruh Kebijakan Remunerasi...., hlm. xxiii

sudah meninggal dunia, sehingga dapat mengakibatkan aparatur peradilan tidak fokus melaksanakan tugas yudisialnya, atau seorang aparatur peradilan yang dikenakan sanksi karena kehilangan berkas di meja kerjanya, dan mungkin masih banyak contoh lain yang luput dari pemberitaan dan publikasi, maka remunerasi non finansial menjadi hal yang penting karena memiliki value lebih untuk pegawai. Bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya dituntut menjadi penulis yang baik karena putusan dan penetapan adalah produknya, maka dapat diberikan dukungan motivasi berupa remunerasi non finansial berupa sarana agar hakim dapat menuangkan ide atau gagasannya dalam bentuk karya tulis, ini dapat menjadi salah satu remunerasi non finansial, di satu sisi juga sebagai sarana pembinaan dan pelatihan kepada hakim. penulis sangat berterima kasih kepada Mahkamah Agung dan Pengurus Pusat IKAHI yang saat ini mempunyai wadah jurnal ilmiah JUDEX LAGUENS yang salah satunya digunakan untuk mengembangkan pikiran, ide, dan gagasan para hakim dan warga peradilan. Dengan demikian peningkatan remunerasi finansial menjadi hal utama dan remunerasi non finansial dapat menjadi alternatif sebagai implementasi kesejahteraan mental Hakim.

Kesimpulan Kesejahteraan mental adalah kondisi yang sehat, bahagia dan sejahtera, membantu hakim menjalani hidup yang berkualitas dan mengambil keputusan yang tepat. Mewujudkan kesejahteraan mental hakim merupakan bagian dari Independensi peradilan. Rencana aksi yang paling nyata saat ini adalah mengadakan layanan kesehatan mental khusus Hakim dan peningkatan remunerasi hakim dalam bentuk finansial dan/atau non finansial, sehingga kesejahteraan peradilan harus segera dibuat menjadi kebijakan, yang akan berpengaruh kepada budaya dan karakter hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya. Diharapkan Judicial Wellbeing Policy akan menjadi aksi yang memiliki value untuk mewujudkan hakim berintegritas dalam konsep independensi peradilan.

Pernyataan Bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya sendiri yang dalam penulisannya tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah, etika dan norma penulisan sebuah karya tulis ilmiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkhusus ketentuan lomba karya tulis ilmiah HUT IKAHI ke-71 tahun 2024.

Daftar Pustaka

Adinda Thalia Zahra, Aditia Sinaga, Muhammad Rafli Firdausi, “PROBLEMATIKA INDEPENDENSI HAKIM SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN”, Bureaucracy Journal: Indonesia,vol. 3 No. 2 (2023), hlm.2020

Admin IKAHI, “Pemenuhan Jaminan Kesehatan Bagi Hakim” ikahi.or.id (04 September 2023),https://www.ikahi.or.id/berita/pemenuhan-jaminan-kesehatan-bagi-hakim, diakses 07 Maret 2024.

Azizah, “IKAHI CABANG KHUSUS MAHKAMAH AGUNG GELAR SEMINAR TENTANG JUDICIAL WELLBEING”www.mahkamahagung.go.id (23 Agustus 2022), https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5365/ikahi-cabang-khusus mahkamah-agung-gelar-seminar-tentang-judicial-wellbeing,diakses tanggal 07 Maret 2024.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, KBBI VI Daring “definisi integritas” kbbi.kemdikbud.go.id(2016), https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/integritas, diakses tanggal 27 Maret 2024.

Diego García-Sayán, “Corruption, Human Rights, and Judicial Independence” unodc.org (July 2017), https://www.unodc.org/dohadeclaration/en/news/2018/04/corruption--human-rights--and-judicial-independence.html, diakses tanggal 24 Maret 2024.

Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, “KEBIASAAN SEHARI-HARI YANG BISA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MENTAL”diskes.badungkab.go.id (29 Januari 2024),https://diskes.badungkab.go.id/artikel/54986-kebiasaan-sehari-hari-yang-bisa-meningkatkan-kesejahteraan mental#:~:text=Kesejahteraan%20mental%20adalah%20kondisi%20yang,dan%20mengambil%20keputusan%20yang%20tepat, diakses tanggal 26 Maret 2024

Fahri, “Jaga Kesehatan Mental, Pertamina dan Kementerian BUMN Gelar Program 1.000 Manusia Bercerita” liputan6.com (28 Februari 2024), https://www.liputan6.com/news/read/5538129/jaga-kesehatan-mental-pertamina-dan-kementerian-bumn-gelar-program-1000-manusia-bercerita?page=2,diakses tanggal 24 Maret 2024.

Ghazali Bahri, Kesehatan Mental I (Bandar Lampung: Harakindo, 2016)

Hendrik Khoirul Muhid, “Disebut Tak Setara dengan Tanggung Jawabnya, Berapa Gaji Hakim?”,tempo.co(22Januari2022),https://nasional.tempo.co/read/1552868/disebut-tak-setara-dengan-tanggung-jawabnya-berapa-gaji-hakim, diakses 07 Maret 2024.

JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES, Judicial Wellbeing Survey 2021 – Report and Action Plan 2022 (JUDICIARY OF ENGLAND AND WALES, Judicial Office, RoyalCourtsofJusticeStrandLondon,(2022),hlm.4,https://www.judiciary.uk/wpcontent/uploads/2022/03/14.51_Judicial_Wellbeing_Survey_2021_Report_and_Action_Plan_FINAL2_WEB.pdf diakses tanggal 07 Maret 2024.

Locke, E. A., Toward a Theory of Task Motivation and Incentives. Organizational Behavior and Human Performance,1968, 3, 57-189.

Mochammad Surya, Teori Remunerasi (Jakarta: Balai Pustaka,2004)

Natasha Lutfi Aisyah, “Pengaruh Kebijakan Remunerasi Terhadap Kinerja Pegawai Di Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Uin Raden Intan Lampung”, Skripsi, Indonesia: Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama Universitas Islam Negeri RadenIntanLampung,2021,hlm.xxiv,http://repository.radenintan.ac.id/14191/1/skripsi%201-2.pdf

Oce Madril, “Nasib Kesejahteraan Hakim” pukatkorupsi.ugm.ac.id (2015), https://pukatkorupsi.ugm.ac.id/?p=3809,diakses 07 Maret 2024.

PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARADANREFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KOMPETENSI JABATAN APARATUR SIPIL NEGARA

Raden Jihad Akbar, Mohammad Yudha Prasetya, “Erick Thohir Jamin Kesehatan Mental Seluruh Pegawai BUMN, Begini Caranya” viva.co.id (19 Januari 2024), https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1679156-erick-thohir-jamin-kesehatan-mental-seluruh-pegawai-bumn-begini-caranya diakses pada tanggal 21 Maret 2024;

Restu Permadi, Fifiana Wisnaeni, “Tinjauan Hukum Kemandirian Dan Independensi Mahkamah Agung Didalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” Jurnal Pembangunan Hukum Volume 2, Nomor 3, Tahun 2020, hlm 399-415.

Syamsir. S. and Muhamad Ali Embi, “Integrity Development Through PSM For Corruption Prevention Among Public Servant”, International Journal of Psychosocial Rehabilitation, Vol. 24, Issue 08, 2020, hlm. 1437-1448.

Victoria Sharp, The Rt Hon. Lady Justice Sharp Dbe Vice President Of The Queen’s Bench Division, In Sickness And In Health Judicial Welfare in England and Wales (Committee for Judicial Studies National Conference 2016),hlm.9,https://www.judiciary.uk/wp-content/uploads/2017/04/lj-sharp-judicial-welfare-speech-20161118.pdf diakses tanggal 20 Maret 2024.

World Health Organization, World mental health report: transforming mental health for all, (Geneva: World Health Organization; 2022),hlm.vi, https://www.who.int/teams/mental-health-and-substance-use/world-mental-health-report diakses pada 06 Maret 2024.

Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982)

Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: PT Gunung Agung, 2001)

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)

Layanan Informasi Perempuan Berhadapan dengan Hukum