"ILEGAL AKSES” KEUANGAN NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK KEUANGAN DAN FASILITAS HAKIM
Oleh : Agus Andrian, S.H.
Hakim Pengadilan Negeri Calang
”ILEGAL AKSES” KEUANGAN NEGARA
DALAM PEMENUHAN HAK KEUANGAN DAN FASILITAS HAKIM
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Demi terselenggaranya Negara Hukum di Republik Indonesia, Kekuasaan Kehakiman diselenggarakan atau dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan secara menyeluruh, mulai dari proses rekrutmen, pembinaan dan pengawasan serta sistem penggajian yang harus proporsional, transparan dan akuntabel. Terlebih kedudukan Hakim dalam sistem hukum Negara Republik Indonesia adalah “Pejabat Negara” hal ini sebagaimana diatur dalam Undang – Undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 19 menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”, terbaru Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, pada Pasal 58 menyebutkan bahwasannya Hakim adalah Pejabat Negara.
Lantas sebagai Pejabat Negara, bagaimana pengaturan mengenai hak keuangan dan fasilitas Hakim? Sejauh ini pemenuhan hak keuangan dan fasilitas hakim masih berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, sebagaimana telah dilakukan perubahan pertama dan kedua dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah 40 Tahun 2022.
Dimana dalam Peraturan Pemerintah tersebut masih menyamakan status hakim sebagai Pejabat Negara dengan Pegawai Negeri Sipil (vide Pasal 3 ayat (2) “Ketentuan dan besaran gaji pokok Hakim sama dengan ketentuan dan besaran gaji pokok pegawai negeri sipil kecuali untuk Hakim dalam lingkungan peradilan militer yang diatur tersendiri”.
Beberapa tahun lalu Hakim Sunoto, S.H., M.Kn, Hakim Djuyamto, S.H., dkk telah menempuh upaya hukum secara konstitusional guna memperjelas dan meluruskan cacat nalar dalam alur pikir yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim tersebut dengan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung terhadap beberapa pasal yang termuat didalamnya dan tepat pada tanggal 10 Desember 2018 Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan Nomor 23 P/HUM/2018 dalam perkara permohonan uji materi Pasal 3 ayat (2), (3), (4), Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, 11A, 11B, 11C, 11D, dan 11E Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2016. Putusan tersebut dalam pokok pertimbangannya Majelis Hakim pada Mahkamah Agung telah membatalkan pengaturan gaji pokok dan hak pensiun hakim karena bertentangan dengan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan TUN dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
Sejak putusan Mahkamah Agung tersebut di ucapkan dan diberitahukan, hingga saat ini Desember 2023 sudah lebih dari 5 (lima) tahun Pemerintah belum melaksanakan amanat putusan tersebut. Sikap pasif dari pemerintah tersebut jika dilihat dari sudut pandang good governance sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merupakan suatu bentuk dari penyalahgunaan wewenang dan masuk ke dalam kategori tindakan sewenang-wenang. Lebih lanjut sikap pasif dari pemerintah tersebut melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang mengatur bahwa apabilah setelah jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Sikap pasif pemerintah dengan tidak melaksanakan kewajiban menerbitkan Peraturan Pemerintah yang baru terkait pemenuhan hak Keuangan dan Fasilitas hakim tidak sejalan dengan prinsip good governance dan belakangan ini Pemerintah justru menerbitkan Peraturan Pemerintah 40 Tahun 2022 tentang perubahan kedua Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, momentum perubahan tersebut seharusnya dapat mengakomodir atau membahas mengenai subtansi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2018 yang telah membatalkan beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil. Namun setelah Penulis cermati subtansi perubahan dalam Peraturan Pemerintah 40 Tahun 2022 tersebut sama sekali tidak menyentuh apa yang telah di batalkan dalam putusan Nomor 23 P/HUM/2018. Kondisi ini mencerminkan sikap abai dan cenderung arogan dari Pemerintah yang seharusnya mengedepankan prinsip good governance dalam bernegara, terlebih Pemerintah sebelumnya juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, penerbitan Peraturan Pemerintah ini secara hukum tidak lagi mengikat bagi para hakim, karena konsekuensi logis dari Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim sebagaimana perubahan pertama dan kedua dalam Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah 40 Tahun 2022 yang telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum sehingga otomatis jabatan hakim selaku “Pejabat Negara” tidak dapat lagi dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara.
Seharusnya ketentuan mengenai pemenuhan hak Keuangan hakim sudah tidak bisa disandarkan lagi pada Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, karena norma yang mengatur tentang ketentuan hak keuangan Hakim dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim sebagaimana perubahan pertama dan kedua dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah 40 Tahun 2022 telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2018. Namun pada kenyataan dan prakteknya hingga saat ini ketentuan hak keuangan/gaji hakim masih menggunakan landasan hukum yang telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum tersebut dengan kata lain pembayaran gaji hakim dilakukan dengan landasan hukum yang telah mati, sehingga penulis berpendapat perbuatan mencairkan kuangan Negara dengan dasar hukum yang sudah tidak berlaku tersebut merupakan suatu tindakan “ilegal akses” terhadap keuangan Negara.
Waktu terus berjalan hari terus berganti, akan tetapi polemik penggajian hakim tidak pernah tuntas diselesaikan. Sikap negarawan dan good governance dari penyelanggara Negara dalam hal ini perlu di pertanyakan, terlebih lagi baru-baru ini Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, dalam Pasal 58 jelas pemerintah mengakui bahwasanya hakim adalah pejabat negara, akan tetapi pengaturan lebih lanjut pada Pasal 59 terdapat diskriminasi terhadap jabatan hakim, dimana hakim diakui sebagai pejabat negara akan tetapi statusnya masih tetap Pegawai Negeri Sipil lain halnya dengan Pejabat Negara pada Lembaga Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Badan Pemeriksa Keuangan dan lembaga lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengatur bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai Pejabat Negara pada lembaga-lembaga tersebut diberhentikan sementara dan hakim tidak termasuk kategori sebagai ”pejabat negara” yang di atur dalam pasal 59 tersebut.
Pembedaan status Pejabat Negara yang diemban oleh hakim dengan status Pejabat Negara lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut merupakan suatu kesesatan berpikir dan tindakan diskriminasi yang nyata dilakukan oleh Pemerintah terhadap jabatan Hakim. Terlebih Lembaga kekuasaan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Agung keberadaannya tidak lebih dari benda mati jika di dalamnya tidak terdapat jabatan hakim, artinya kekuasaan kehakiman sesungguhnya ada pada diri para hakim itu sendiri ketika peran para hakim menyelenggarakan kekuasaan kehakiman terhadap perkara-perkara yang diadilinya. Hakim merupakan cerminan dari kekuasaan negara yang dapat menentukan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai bentuk perintah dari negara melalui lembaga peradilan yang di jalankan oleh Hakim, sehingga apa yang dikerjakan oleh hakim adalah proses pelaksanaan ajudikasi yang sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil sebagai pelaksana fungsi pelayanan publik. Hakim dalam menjalankan fungsi ajudikasi membutuhkan pengetahuan yang mendalam disertai dengan keterampilan khusus bahkan Hakim harus selalu meningkatkan kapasitas dan ilmu pengetahuannya guna mengantisipasi dan mengikuti perkembangan hukum sebagai landasan dalam penjatuhan suatu putusan, sehingga hakim tidak bisa dikatakan atau disamakan dengan “pegawai negeri sipil”.
Mengutip pernyataan Prof. Jimly Asshiddiqie yang mengatakan “Mengapa hakim tidak boleh dikaitkan dengan pegawai negeri? Pegawai negeri harus dibedakan dari penyandang fungsi kekuasaan negara (governing function) di bidang penghakiman lebih tepat disebut pegawai negara atau pejabat negara sebagai lawan kata dari pejabat negeri. Pegawai negeri pada pokoknya menduduki jabatan negeri, sedangkan jabatan negara diduduki oleh pejabat negara. Hakim secara sendiri-sendiri membuat keputusan dan menjatuhkan sanksi atas nama Negara. Hakim diberi kewenangan atas nama negara untuk membebani warga negara dengan hak dan kewajiban yang dapat dipaksakan daya ikatnya. Sedangkan pegawai negeri tidak diberikan kewenangan semacam itu kecuali atas perintah pejabat negara yang menjadi atasannya. Oleh karena itu, mengaitkan hakim dengan pegawai negeri merupakan kesalahkaprahan yang harus dihentikan dan diperbaiki”