Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia Oleh : Ainal Mardhiah SH MH (Mantan Hakim Pengawas Daerah PN Calang)
Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia
Oleh : Ainal Mardhiah SH MH (Mantan Hakim Pengawas Daerah PN Calang)
PENDAHULUAN
Femisida terbentuk dari kata Femi yang berasal dari katanya female yang berarti perempuan, sedangkan sida berasal dari bahasa latin caedera yang berarti pembunuhan. Sehingga Femisida berarti penghilangan nyawa perempuan atau anak perempuan karena dia perempuan atau karena kekerasan berbasis gender. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah femisida artinya pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan. Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Istilah “ femisida” pertama kali digunakan oleh John Corry, Sejarawan Inggris Tahun 1801 dalam bukunya “A Satrical View of London at the Commencement of the nineteenth Century” untuk merujuk pada pembunuhan terhadap perempuan. Kemudian di tahun 1976 Profesor Diana EH Russell bersama Nicole van Den Hen , tokoh pelopor, pakar, aktivis feminis kekerasan laki-laki terhadap perempuan, di Pengadilan Imternasional Kejahatan terhadap Perempuan International Tribunal on Crimes Against women di Brussels, Belgia menggunakan istilah tersebut untuk menarik perhatian publik pada kekerasan dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan.
Pada awalnya, femisida didefinisikan sebagai “pembunuhan perempuan oleh laki-laki yang dimotivasi oleh kebencian, penghinaan, kesenangan, atau rasa memiliki terhadap “perempuan” dan pembunuhan misogiis terhadap perempuan oleh laki-laki.” Kemudian Prof Russel menyederhanakan difinisi femisida menjadi ”pembunuhan satu atau lebih perempuan oleh satu atau lebih laki-laki karena mereka perempuan” dalam pidtao pengantarnya pada Simposium PBB tentang Femisida pada tanggal 26 November 2012.
Komnas Perempuan baru merumuskan istilah femisida tersebut 9 tahun setelah Simposium PBB tersebut dengan merujuk pada situasi di Indonesia. Karena , istilah femisida maknanya yang diterima sering kali bervariasi, tergantung pada perspektif siapa yang sedang diperiksa atau dari negara atau kawasan dunia mana. Fenomena femisida, termasuk konseptualisasi dan pengukurannya, terus menjadi subjek diskusi internasional di arena akademis, kebijakan, dan aktivis akar rumput serta dalam lembaga legislatif dan kebijakan regional, nasional, dan lainnya. Oleh karena itu Komnas perempuan mendifinisikan femisida dengan merangkumkan definisi yang telah disusun oleh Pelopor Khusus Anti Kekerasan terhadap Perempuan PBB, OHCHR dan UN Women dan WHO sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya. Femisida juga didorong oleh superioritas, dominasi, hegomoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan, juga berhuubngan dengan ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, di Indonesia sepanjang Tahun 2020 hingga 2023 , terjadi total 798 kasus femisida di Indonesia. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan tentang Pemantauan Femisida 2024 melalui pemberitaan media online untuk periode1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024 dari 33.225 berita ditemukan 290 kasus dengan indikasi femisida. Tahun 2023 diketahui terdapat femidia intim yang dilakukan suami sebanyak 71 kasus, dilakukan pacar 47 kasus, dilakukan anggota keluarga 29 kasus dan dilakukan pengguna layanan seksual 16 kasus. Alasan tertinggi yang terungkap adalah cemburu atau sakit hati, penolakan hubungan seksual, masalah finansial dan kekerasan seksual.
Aparat penegak hukum belum memiliki keberpihakan yang terlalu baik. Padahal Femisida adalah puncak dari kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut disebabkan Indonesia belum mengatur tentang femisida secara khusus. Meskipun Indonesia memiliki beberapa aturan tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan yang tersebar antara lain UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT dan UU TPKS yang secara eksplisit belum mengatur tentang femisida
Negara-negara yang telah mengintegrasikan femisida dalam perundang-undangan tindak pidana, antara lain Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Kolombia, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, El Savador, Guatemala, Honduras, eksiko, Nikaragua, Panama. Peru, Paraguay, Uruguay dan Venezuela.
Untuk menjelaskan apa itu femisida WHO, Pelopor Khusus Kekerasan terhadap Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan, Deklarasi Wina, dan UN Women and UNODC , inter-agency working document ( cvictim dissaggregations telah menetapka 9 perbuatan yang tergolong katagori femisida tersebut sebagai berikut:
1. Femisida Intim merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh suami/ mantan suami atau pacar/mantan pacar atau pihak lainnya.
2. Femisida Budaya, merupakan serangkaian bentuk femisida yang terdiri dari beberapa sub bagian terkait sebagai berikut:
a. Femisida atas nama kehormatan, yaitu pembunuhan perempuan demi menjaga kehormatan keluarga atau komunitas. Pembunuhan dilakukan karena perempuan dianggap melakukan pelanggaran, perzinahan, diperkosa atau hamil diluar nikah;
b. Femisida terkait mahar: yaitu pembunuhan perempuan karena konflik mas kawain, misalnya karena dianggap tidak sesuai dengan keluarga calon suami;
c. Femisida Terakit Ras, Suku dan Etnis yaitu pembunuhan perempuan adat etnis tertentu, kecendrungan pada ras, suku dan etnis minoritas;
d.Femisida Terkait tuduhan sihir, yaitu pembunuhan berdasarkan tuduhan terkait sihir atau santet;
e. Femisida terhadap pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan ( female genital mutilation/circumcision (FGM/C) atau dikenal pemotongan/ pelukaan genitalia perempuan (P2GP) merupakan bagian dari kontrol terhadap seksualitas atau organ reproduksi perempuan yang dapat berdampak kematian anak perempuan dan perempuan dewasa;
f. femisida bayi ( aborsi, balita dan batita) yaitu pembunuhan terhadap bayi perempuan karena dianggap tidak berharga dibandigkan bayi laki-laki, termasuk aborsi selektif terhadap janin jenis kelamin perempuan dan anak penyandang disabilitas. Dalam budaya patrilineal, bayi perempuan dianggap bukan penerus kekerabatan dan garis keturunan keluarga luas dalam komunitas.
3. Femisida Konteks Konflik Bersenjata, merupakan pembunuhan dalam konteks konflik bersenjata, biasanya didahului kekerasa fsisk yang dilakukan aktor negara maupun non negara, UNODC menyatakan penargetan perempuan dalam konflik bersenjatadan penggunaan kekerasan seksual sebagai senjata perang ( weapon of war) digunakan untuk menghancurkan tatanan masyarakat, seperti perempuan yang menggalami pemerkosaan dalam konflik sering dijauhi dan dikucilkan oleh komunitas mereka.
4. Femisida Konteks Industri Seks Komersial merupakan pembunuhan perempuan pekerja seks oleh klien atau kelompok lain karena perselisihan biaya atau kebencian terhadap kelompok pekerja seks komersial
5. Femisida perempuan dengan Disabilitas, merupakan pembunuhan terhadap perempuan penyandang disabilitas karena kondisinya ataupun efek domio karena telah terjadi kekerasan seksual hingga kehamilan;
6. Femisida Orientasi Seksual dan Identitas Gender merupakan pembunuhan yang didasarkankebencian dan prasangka terhadap minoritas seksual;
7. Femisida Di Penjara, merupakan pembunuhan yang terjadi pada tahanan perempuan dalam konteks sistem penjara;
8. Femisida Non Intim ( PembunuhanSistematis) merupakan pembunuhan oleh seseorang yang tidak memiliki hubungan intim dengan korban, bisa terjadi secara acak terhadap korban tidak dikenal atau pembunuhan sistematis oleh aktor negara ataupun non negara;
9. Femisida Pegiat HAM/Pegiat Kemanusiaan. Merpakan pembunuhan dilakukan aktor negara atau non negara terhadap perempaun yang berjuang bagi pemenuhan HAM di komunitasnya atau masyarakat luas. Perjuangan ini dianggap mengancam atau merugikan kepentingan ekonomi kelompok terntentu.
Instrumen Internasional yang berkenaan dengan perlindungan femisida yaitu:
1. Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia yang menyatakan :”Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu dan Pasal 5 yang menyatakan”Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi atau dihina.”
2. Pasal 3 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sosial dan Politik ( International Convenenat on Civil and Political Rights/ ICCPR) yang telah disahkan melalui UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang menyatakan “Setiap orang memiliki hak atas hidup dan Pasal 7 menyatakan “ hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi”.
3. Pasal 3 Komentar Umum Komite ICCPR pada 2000 tentang kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
4. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang sudah disahkan melalui UU No 7 Tahun 1984 tentang CEDAW. Dimana Pasal 1 melarang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Femisida merupakan pembunuhan berdasarkan jenis kelamin perempuan. Pasal 2 menyatakan negara pihak berkewajiban mengadopsi kebijakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Kewajiban ini bersifat alamiah, tidak boleh ada pembenaran atas penundaan berdasarkan apapun termasuk alasan ekonomi, budaya atau agama. Kewajiban negara mencakup tanggung jawab atas tindakan kekerasan terhadap perempuan atau pembiaran yang dilakukan aktor negara atau non state actor.
5. Rekomendasi Umum No 19 CEDAW tentang Kekerasan terhadap Perempuan yang menetapkan diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 CEDAW mencakup kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang ditujukan terhadap perempuan karena dia adalah perempuan. Kekerasan berbasis gender merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mampu menikmati hak-hak dan kebebasan dasar secara setara dengan laki-laki.
Butir 7 Rekomendasi Umum No 19 CEDAW tentang kekerasan berbasis gender yang merusak, menghalangi atau meniadakan penikmatan oleh perempuan terhadap hak asasinya dan kebebasan fundamental beradasarkan hukum internasional atau berdasarkan konvensi HAM, adalah diskriminasi dalam pengertian Pasal 1 CEDAW.
Hak-hak dan kebebasan itu termasuk (a) hak untuk hidup; (b) hak untuk tidak mengalami penganiayaan, kekajaman, perbuatan atau hukuman yang menurunkan martabat dan tidak berprikemanusiaan; (c) hak untuk mendapatkan perlindungan yangs etara sesuai dengan norma humaniter dalam situasi konflik bersenjata internal atau internasional, (d) hak atas kebebasan dan keamanan seseorang, (e) hak untuk mendapatkan perlakuan yang setara di depan hukum, (f) hak untuk mendapatkan kesetaraan dalam keluarga, (g) hak untuk mendapatkan standar kesehatan tertinggi baik fisik maupun psikis, (h) hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang layak dan menguntungkan.
6. Rekomendasi Umum No 33 CEDAW tentang Akses pada keadilan. Meski perempuan korban meninggal, namun negara wajib menegakkan keadilan dengan menginvestasi kasusnya, memberi ganti rugi kepada kelauarganya dan pemulihan yang diperlukan serta menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya.
7. Rekomendasi Umum No 35 yang merupakan perluasan dari Rekomendasi Umum No 19 tentang Penghapusan Kekearasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa kekerasan tersebut merupakan masalah sosial dan bukan individual sehingga membutuhkan respons yang komprehensif dari negara. Rekomendasi ini menjelaskan bahwa kekerasanberbasis gender terjadi di semua tempat dan ruang interaksi manusia, publik maupun pribadi, termasuk dalam pengaturan konteks keluarga, komunitas, ruang publik. Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dapat diakibatkan oleh perbuatan, pengabaian atau kelalaian aktor negara atau bukan negara, yang bertindak secara territorial atau ekstrateritorial, termasuk tindakan militer ekstrateritorial negara, secara individu atau sebagai anggota organisasi atau koalisi internasional atau antar pemerintah, atau ekstraterritorial atau koalisi internasional atau antar pemerintah, atau ekstrateritorial operasi perusahaan swasta.
8. Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah disahkan melalui UU No 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights People With Disabilities (CRPD)dan diturunkan dalam UU No 8 Tahun 2016 tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas memiliki kerentanan berlapis dibandingkan dengan perempuan non disabiliats. Pertama, karena gendernya. Kedua, kondisi disabilitas yang mengakibatkan mereka mengalami berbagai hambatan. Pasal 5 menyatakan hak perempuan penyandang untuk “bebas dari tindakan diskriminasi, pelantaran, penyiksaan dan eksploitasi. (Ayat iv).
9. Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia kemudian mengimplimentasikan konvensi tersebut melalui Undang-Undang Perlindungan Anak tahun 2002 tentang Perlindungan Anak No 23 yang direvisi dengan UU No 35 Tahun 2014 dan UU No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
10. Dokumen hasil Pertemuan Tinjauan Regional Beijing +25 yang diorganisir Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa pada Oktober 2019 menyatakan mendukung prakarsa Pemantau Femisida ( Femisida Watch). Rekomendasi No 31 menyerukan kepada semua negara agar membangun badan nasional multi disipliner seperti Pemantau Femisida yang bertujuan bekerja secara aktif untuk pencegahan femisida atau pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan.
11. Sekjen PBB pada pertemuan Tingkat Tinggi Konferensi Dunia IV tentang Perempuan pada 1 Oktober 2020 menyerukan tindakan afirmasi untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan termasuk femisida.
12. Pembangunan Berkelanjutan (SDGS) tujuaan 16.1 “Pengurangan secara signifikan jumlah segala bentuk kekerasan dan angka kematian perempuan di mana pun”.
Femisida masih belum sepenuhnya mendapat tempat dalam kerangka hukum nasional. Akibatnya, perkara-perkara pembunuhan yang seharusnya masuk ke ranah femisida, tumpang tindih dengan kejahatan-kejahatan lainnya. Berdasarkan aturan-aturan tersebut dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan di Indonesia belum mendifinisikan fenomena penanganan kasus femisida yang telah disepakati secara global sebagaimana definisi menurut Deklarasi Wina, dimana penanganan femisida masih bersifat umum, definisi femisida sebagai salah satu bentuk pembunuhan motifnya belum terlihat terkait gender korban. Misalnya Pembunuhan perempuan akibat kekerasan oleh pasangan intim/rumah tangga tidak secara spesifik mendefinsikan kasus sebagai bagian dari femisida. Sebagaimana UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga dan KUHP yang berlaku, kasus berikut lebih mengarah dan condong ke kasus pembunuhan umum yang melihat perempuan korban tindak KDRT yang menyebabkan hilangnya nyawa korban. Pasal 5 UU PKDRT melarang kekerasan rumah tangga dengan cara : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. KDRT yang menyebabkan kematian setara dengan tindak pidana pembunuhan ( Pasal 338 KUHP) atau penganiayaan berat dengan rencana ( Pasal 352 ayat 2). Penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan tidak didefinisikan sebagai kasus femisida dan landasan hukum yang berlaku merujuk ke KUHP dan bila perlu UU Perlindungan Anak. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas nama kehormatan seseorang maupun kolektif tidak diatur dalam undang-undang yang berlaku. Aturan pasal yang memayungi kasus kasus spesifik atas nama kehormatan lebih umum sehingga motif ini mengarah pada rujukan KUHP. Pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks konflik bersenjata belum memiliki aturan khusus dalam perundang-undangan di Indonesia, sepenuhnya merujuk ke KUHP. Pembunuhan perempuan terkait mahar belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, landasan hukum yang digunakan merujuk KUHP. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan karena orientasi seksual dan identitas gender mereka hingga saat ini belum memiliki hukum yang khusus mengatur hal tersebut. Dalam praktiknya motif pembunuhan terhadap perempuan dan anak ini berlaku ketentuan KUHP serta UU Perlindungan Anak.
Pembunuhan perempuan dan anak perempuan penduduk asli karena jenis kelamin hingga kini belum diatur dalam perundang-undangan khusus yang mengatur motif pembunuhan tersebut. Landasan hukum yang digunakan sebagai rujukan adalah KUHP dan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pasal 4 huruf B angka 4 menyatakan” Melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan , atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis’. Pembunuhan bayi perempuan dan pembunuhan janin berdasarkan jenis kelamin belum memiliki landasan hukum yang mengatur mengenai motif pembunuhan tersebut ataupun aborsi selektif atas dasar jenis kelamin. Perundang-undangan yang dijadikan rujukan adalah KUHP dan UU Perlindungan Anak. Kematian terkait P2GP belum diatur dalam peraturan khusus yang melarang praktik tersebut secara jelas. Pembunuhan perempuan karena tuduhan sihir tidak memilki hukum yang khusus mengatur hal tersebut.Pembunuhan berbasis gender lainnya yang brhubungan deng geng, kejahatan terorganisir, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan penyebaran senjata api belum diatur secara khusus. Motif pembunuhan tersebut merujuk pada KUHP dan UU Pemberantasn Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah dalam perundang-undangan nasional, femisida ditempatkan sebagai kriminalitas umumnya dan bukan kejahatan berbasis gender.
Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum terkait femisida di Indonesia adalah;
a. Pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP “ Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain. Diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun”.
Ada dua unsur essensial dalam pasal ini yaitu adanya unsur subjektif dengan sengaja dan unsur objektif menghilangkan nyawa orang lain.
b. Pembunuhan disertai atau didahului Tindak Pidana lain sebagaimana diatur dalam Pasal 339 KUHP. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempemudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
c. Pembunuhan Berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP
“Barangsiapa yang dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas jiwa orang lain, karena melakukan pembunuhan berencana, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun.”
d. Tindak Pidana penganiayaan yang Menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat 3 KUHP.
e. Penganiayaan dengan rencaan terlebih dahulu jika mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 353 Ayat 3 KUHP;
f. Penganiayaan berat jika mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 354 Ayat 2 KUHP;
g. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dan mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 355 Ayat 2 KHUP;
h. Penelantaran yang Menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 Ayat 2 KUHP;
i. Perbuatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 304 KUHP ( menempatkan atau membiarkan sesorang dalam keadaan sengsara) dan Pasal 305 KUHP ( menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak) yang mengakibatkan kematian.
j. Pemerkosaan yang Menyebabkan Kematian sebagimna diatur dalam Pasal 291 Ayat 2 KUHP;
k. Perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP ( pemerkosaan), Pasal 286 KUHP ( persetubuhan), Pasal 287 KUHP ( persetubuhan dengan anak), Pasal 289 KUHP (perbuatan cabul) dan Pasal 290 KUHP ( perbuatan cabul terhadap anak) yang mengakibatkan kematian.
l. Kekerasan terhadap Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76 CUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang_Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”
m. Kekerasan seksual terhadap Anak yang menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 76 D UU Perlindungan Anak “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”
n. Pembunuhan Anak (Perempuan) sebagaimana diatur dalam Pasal 341 KUHP ‘Seorang ibu yang karena takut akan diketahui bahwa dia melahirkan anak dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
o. Pembunuhan Anak (prempuan) sebagaimana diatur dalam pasal 342 KUHP “ Seorang ibu yang untuk melaksanakan keputusan yang diambilnya karena takut akan diketahui bahwa dia akan melahirkan anak, menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan berencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”
p. Pengguguran dan Pembunuhan terhadap Kandungan/Janin (Aborsi) sebagaimana diatur dalam Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan “Perbuatan yang dilarang, kecuali terhadap indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan” ;
q. UU perlindungan Anak Pasal 45 A menyatakan setiap orang melakukan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.
r. Pasal 347 KUHP “ Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
s. Pasal 347 KUHP
1. Barang siapa dengans engaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuan wanita itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, dia dinacam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
t. Pasal 348 KUHP
1. barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuan wanita lain, diancam dengan pidana penjara selama paling lama lima tahun enam bulan;
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, dia diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
u. Pasal 449 KUHP
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat emmbantu melakukan kejahatan tersebut dalam pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diteragkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal itu dapat ditambah dengans epertiga dan dapat dicabut haknya untuk menjalankan pekerjaannya dalam mana kejahatan itu dilakukan.
v. Pembunuhan Berhubungan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang(PTTPO) .
KESIMPULAN
Bentuk-bentuk dan difinisi definisi femisida hampir tidak terdengar dan terintegrasi secara optimal sebab peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan daerah di Indonesia masih belum memberikan definisi jelas tentang kekerasan dan pembunuhan berbasis gender yaitu pembunuhan perempuan karena ia perempuan;
Belum ada payung hukum yang membedakan antara kasus pembunuhan berbasis gender yang korbannya perempuan dengan pembunuhan sebagai kriminalitas umum. Belum ada aturan tentang tindak pidana penghilangan nyawa berbasis gender.